Ketika manusia beranjak dewasa, jalan hidup memilihkannya alur untuk memulai kehidupan mandiri. Pikirannya semakin berkembang, dan kemauannya semakin kompleks, dan semua menunggu untuk terpenuhi. Area hidup yang semula dalam asuhan orang tua, namun seiring dengan berlalunya waktu, kita diajukan pada berbagai pilihan hidup yang tak jarang membentangkan jarak yang menjauhkan dari orang tua.
Tuntutan hidup inilah yang akhirnya mau tidak mau mendesak para orang tua untuk rela melepaskan anak- anaknya jauh dan memilih jalan takdir mereka sendiri. Rela tidak rela, namun tanpa kuasa mereka harus merelakannya. Segenap doa mereka panjatkan kepada sang maha hidup agar anak- anak mereka selalu dalam pengawasan terbaikNya.
Ketika kesuksesan sudah digenggaman, sang anakpun berbangga dan berbahagia. Namun hal itu belum seberapa jika dibandingkan dengan kebahagiaan sejati para orang tua. Mungkin dari mereka banyak yang tidak ikut menikmati, namun begitulah orang tua, melihat kebahagiaan anak- anak mereka, itu sudah lebih dari cukup.
Para orang tua tidak menuntut harta atau cipratan kemuliaan dari anak- anak mereka. Bahkan kalau mereka berpunya, justru mereka yang akan dengan sukarela membagi- bagikan semua yang mereka miliki kepada anak- anak mereka.
Setelah semuanya telah terengkuh, namun kebanyakan dari kita melupakan satu hal. Waktu seakan sudah melenakan kita dari satu detikpun untuk berkirim kabar atau sekedar mengetahui keadaan orang tua terkasih, apalagi sampai mengunjunginya. Masih ingatkah kita, ketika kecil dulu, bahkan semua waktu hanya tercurah untuk kita, seakan dunia orang tua telah kita beli dengan kepengurusan atas diri kita. Tapi sekarang... keadaan itu berbalik dengan yang kebanyakan kita lakukan sebagai balas jasa kita untuk mereka.
Pahamilah hati orang tua dengan bayangan bahwa nanti ketika saat itu tiba untuk kita. Saat dimana kitapun akan menua. Ketika belahan hati telah jauh, yang diharapkannya hanya ketulusan perhatian lewat kunjungan ataupun hanya sekedar pembicaraan singkat lewat telefon. Bayangkan ketika orang tua harus melewati hari- harinya dalam kesepian dan sendirian. Ibaratnya, susah payah dan sakit badan serta hatipun harus mereka tanggung sendiri. Sedangkan anak yang mereka telah besarkan dengan susah payah dan penuh pengorbanan, kini telah pergi untuk berbahagia dengan kehidupannya sendiri.
Sungguh, para orang tua tidak akan menuntut untuk berbagi kebahagiaan itu, bahkan mungkin sebagian dari mereka coba untuk berbicara dengan diri dan menyediakan sejuta pemakluman, bahwa siklus hidup memang begitulah adanya. Tapi bukankah mereka adalah orang tua kita? mereka yang berjasa sampai kita pada level sekarang ini. Mereka masih dan akan tetap berhak atas kita. Jika kita membaiki orang lain, lebih diutamakan dahulu kita harus berbuat baik kepada orang tua.
Begitulah ketika orang tua harus melewati babak akhir dari kehidupannya. Walaupun begitu banyak harta kekayaan yang dimiliki, toh semua hanya benda mati yang tidak memberi rasa dan membangkitkan gairah hidup mereka. Walaupun absennya hadiah atau buah tangan dari anak- anak dan cucu mereka saat mengunjungi dan memperhatikannya, itu tidak masalah, karena sungguh kedamaian hati itulah yang tak bisa terbeli
Kalau saja usia tidak menuakan mereka, selamanya mereka akan tetap mengasuh kita. Mereka tak akan peduli seberapa dewasa dan mandirinya anak- anak mereka, orang tua tetaplah orang tua. Mereka akan tetap memelihara dengan kasih sayang yang paling paten kualitasnya untuk kita. Tidak ada balasan, tidak masalah. Tidak ada penghargaan, bukan hal yang perlu dirisaukan. Itulah orang tua.
Apakah anda termasuk orang yang sukses sekarang? kalau jawabannya adalah ya, pertanyaan selanjutnya adalah, apa kabar orang tua anda yang jauh disana?.
Kesuksesan tidak berarti apa- apa jika kita mengesampingkan dan atau bahkan membuang arti kasih dari orang tua. Kemuliaan yang kita raih sebagai bukti kerja keras, tidak akan memuliakan kita jika hal itu justru menggiring kita untuk mendapat titel anak durhaka.
Suatu hari kitapun insyaallah akan menjadi seperti mereka. Dan bila saat itu datang, kitapun ingin mendapatkan perlakuan sebaik- baiknya. Allah maha mengetahui dan maha adil terhadap hamba- hambanya, bagaimana perlakuan kita terhadap orang tua, siapa yang bisa menebak jika perlakuan yang sama akan kita terima kelak dari anak- anak kita. Tentunya, manusia yang cerdas tidak akan salah membuat `investasi` yang akan dia panen sendiri dimasa depan.
(Syahidah)
Kamis, 23 Juni 2011
Rabu, 15 Juni 2011
Untuk Ibu dan Calon Ibu
Assalamu'alaikum ukhti fillah...
di bawah ini saya ada beberapa poin yang saya pikir sangat bagus untuk antunna sekalian para ibu maupun para calon ibu. bagi antunna yang sudah memahaminya, semoga poin-poin dibawah ini bisa menjadikan pengingat dikala kita lupa. dan bagi antunna yang bekum mendapat informasi sebelumnya, semoga bisa menjadikannya referensi. coretan ini menggugah saya mengenai tingkat emosi seorang anak, pada dasrnya anak-anak belajar dari kehidupannya.
1. Jika anak" dibesarkan dengan celaan, ia belajar memaki
2. Jika anak" dibesarkan dengan permusuhan, ia belajar berkelahi
3. Jika anak" dibesarkan dengan cemoohan, ia belajar rendah diri
4. Jika anak" dibesarkan dengan penghinaan, ia belajar menyesali diri
5. Jika anak" dibesarkan dengan toleransi, ia belajar menahan diri
6. Jika anak" dibesarkan dengan dorongan, ia belajar percaya diri
7. Jika anak" dibesarkan dengan pujian, ia belajar menghargai
8. Jika anak" dibesarkan dengan sebaik-baiknya perlakuan, ia belajar keadilan
9. Jika anak" dibesarkan dengan dukungan, ia belajar menyenangi dirinya
10. Jika anak" dibesarkan dengan kasih sayang dan persahabatan, ia belajar menemukan cinta dalam hidupnya
11. Jika anak" dibesarkan dengan rasa aman, ia belajar menaruh kepercayaan.
Demikianlah ukhti yang saya dapat dari menyadur buku. sesungguhnya seorang anak bagaikan kertas putih yang terlahir untuk kita warnai. Untuk itu warnailah anak" kita dengan poin ke 5-11. warnailah anak kita agar tergambar dalam dirinya umar bin khatab masa kini, harun al rasyid di abad 21, atau mus'ab bin umair di era kapitalisme yang hampir runtuh ini. semoga anak" kita nanti bisa mendulang emas yang akan kita dapatkan di surga nanti sebagai investasi anak sholeh. semoga bermanfaat. Jzk.
Wassalamu'alaikum wr. wb.
Sholihin, Oleh. 2005. Jangan Jadi Bebek. Jakarta, Gema Insani Press.
di bawah ini saya ada beberapa poin yang saya pikir sangat bagus untuk antunna sekalian para ibu maupun para calon ibu. bagi antunna yang sudah memahaminya, semoga poin-poin dibawah ini bisa menjadikan pengingat dikala kita lupa. dan bagi antunna yang bekum mendapat informasi sebelumnya, semoga bisa menjadikannya referensi. coretan ini menggugah saya mengenai tingkat emosi seorang anak, pada dasrnya anak-anak belajar dari kehidupannya.
1. Jika anak" dibesarkan dengan celaan, ia belajar memaki
2. Jika anak" dibesarkan dengan permusuhan, ia belajar berkelahi
3. Jika anak" dibesarkan dengan cemoohan, ia belajar rendah diri
4. Jika anak" dibesarkan dengan penghinaan, ia belajar menyesali diri
5. Jika anak" dibesarkan dengan toleransi, ia belajar menahan diri
6. Jika anak" dibesarkan dengan dorongan, ia belajar percaya diri
7. Jika anak" dibesarkan dengan pujian, ia belajar menghargai
8. Jika anak" dibesarkan dengan sebaik-baiknya perlakuan, ia belajar keadilan
9. Jika anak" dibesarkan dengan dukungan, ia belajar menyenangi dirinya
10. Jika anak" dibesarkan dengan kasih sayang dan persahabatan, ia belajar menemukan cinta dalam hidupnya
11. Jika anak" dibesarkan dengan rasa aman, ia belajar menaruh kepercayaan.
Demikianlah ukhti yang saya dapat dari menyadur buku. sesungguhnya seorang anak bagaikan kertas putih yang terlahir untuk kita warnai. Untuk itu warnailah anak" kita dengan poin ke 5-11. warnailah anak kita agar tergambar dalam dirinya umar bin khatab masa kini, harun al rasyid di abad 21, atau mus'ab bin umair di era kapitalisme yang hampir runtuh ini. semoga anak" kita nanti bisa mendulang emas yang akan kita dapatkan di surga nanti sebagai investasi anak sholeh. semoga bermanfaat. Jzk.
Wassalamu'alaikum wr. wb.
Sholihin, Oleh. 2005. Jangan Jadi Bebek. Jakarta, Gema Insani Press.
Langganan:
Postingan (Atom)