Sabtu, 27 Agustus 2011

"DEMO"nya Anak-anak, Sebuah Catatan untuk Kita

Pagi itu ketika mentari menawarkan kehangatan, ketika burung gereja berkicau di loster-loster rumah, canda dan tawa tak mampu dielak dari bibir mungil seorang anak yang baru saja dibangunkan sang bunda. Dengan senyuman yang hangat, sehangat kecupan mentari di pagi itu, sang bunda menciumi pipinya kiri dan kanan, berkali-kali bergantian, berharap dengan ciumannya anak itu terusik dan lekas bangun. Beberapa menit kemudian sang anak pun telah siap memulai pagi dengan tawa cerianya.

Dari mata anak itu, jelas tak sedikitpun kesedihan tergambar. Terlebih sang ayah yang mencoba menggoda anak itu dengan menggelitik punggungnya. Dengan terbahak geli, anak itu berkali-kali menafsirkan kebahagiaan yang diwarisi dari kedua orangtuanya.

“Ayah, geli tahu... Hahahaha. Aduh” teriak anak itu berkali-kali.

Disela-sela canda pagi itu, sang bunda bermaksud menyampaikan sesuatu kepada suaminya. Dengan nada pelah, halus, dan hati-hati karena rasa hormat dan takut melukai hati sang suami, bunda memulai dengan menceritakan kisahnya beberapa hari yang lalu bersama ibu-ibu kompleks lainnya.

“Oiya ayah, kemarin bunda ngobrol-ngobrol sama ibu-ibu kompleks, waktu itu, waktu ketemu di masjid. Kata mereka itu suara motor Om … adik ayah itu mengganggu. Apalagi kalau lagi pada tadarusan terus si Om lewat. Ibu-ibu itu keganggu yah…” Panjang lebar bunda bercerita. Sang ayah menyimak dengan serius.

“Kalau bisa yah, Om itu dikasih tahu. Suruh nggak tancep gas dideket masjid sebelum ibu-ibu sendiri yang turun tangan yah…”

“Gampang kan nyalahin orang?.” Dengan nada tinggi ayah berkata, sambil berdiri dan dengan mimik muka marah. Sepertinya ia tak terima jika adiknya disalahkan.

“Bunda itu nggak nyalahin Om yah. Bunda Cuma menyampaikan pesan ibu-ibu yang merasa keganggu. Itu fakta yang Bunda dapat. Memang ayah nggak pernah ke masjid, jadi nggak tahu bagaimana keadaan di masjid. Ini orang salah kok malah dibela. Itu berarti ayah itu nggak percaya sama bunda. Secara nggak langsung ayah mengira bunda bohoong, memfitnah Om itu. Bunda nggak bisa terima.” Sang bunda menimpali dengan nada keras dan emosi.

“Ayah tu nggak membela.”

“Terus apa kalo nggak membela? Kalau sama dukun aja ayah temenin, kalau suruh ke masjid ogah-ogahan….”



Pertengkaran itu terus berlanjut, semua keburukan keluar dari bibir masing-masing, hingga akhirnya sang ayah memutuskan untuk pergi. Lalu bagaimana dengan sang anak?

Pagi yang bersinar itu tiba-tiba menjadi gelap. Burung gereja yang semula menemaninya bernyanyi pun tiba-tiba ikut bungkam. Langit seperti akan runtuh. Desiran darahnya seakan berhenti. Ia merekam benar apa yang dilontarkan ayah bunda di hadapannya. Jiwanya terguncang. Tetes demi tetes butiran bening keluar dari mata indahnya. Di balik selimut ia sembunyikan tangisnya karena memang hanya itu yang bisa dia lakukan. Berharap sang bunda tak mengetahuinya.

Ia yang polos dan tak tahu menahu kenapa ayah bundanya bertengkar, hanya mampu menangis. Rumah yang bagaikan surga beberapa menit yang lalu, kini berubah menjadi neraka.
Sang bunda pun hanya bisa menangisi kepergian sang ayah sepanjang waktu itu berlalu. Selepas kejadian pagi itu, sang bunda menjadi lebih sensitive. Sedikit saja kesalahan, terutama kesalahan sang anak, akan menyulut emosinya bahkan hingga terbakar hebat.

Dan si anak, benar-benar mengalami guncangan di dalam dirinya. Ia berubah menjadi pendiam, sering melamun, pikirannya melayang entah kemana. Di sekolah, ia lebih suka menyendiri. Menghabiskan waktu istirahat di sudut kelas, kaki dan tangannya ditekuk, tak menghiraukan teman-temannya yang lincah bermain, matanya menatap sekeliling dengan pandangan kosong

Ketika sang guru memulai pelajaran, ia tak mampu menyimak dengan baik. Pikirannya terus dilumat oleh pertengkaran ayah bundanya. Beberapa kali teguran guru tak membuatnya mempan untuk mengalihkan lamunannya.

Demikianlah sang anak dengan diamnya ia menunjukkan perasaannya. Sikap orang tua yang seperti ini tentu tak selayaknya ditiru. Tak baik bertengkar di hadapan anak. Selain itu, komunikasi yang baik di dalam rumah dan adanya kesepahaman antar penghuni rumah mutlak dijalin agar rumah terbina menjadi surga yang dinantikan ketika seisi rumah pergi.