Kamis, 06 November 2008

menanti kerinduan itu kembali pulang

Sore ini di kawasan Jogja masih tampak sepi. Sejak siang tadi awan tebal bergelantungan di atas tanah Jogja. Meski yang jatuh hanyalah tetesan gerimis kecil, tetapi suasana seperti ini mampu menyihir warga Jogja, menjadikanya bermalas-malasan. Sehingga sebagian jendela rumah-rumah mereka telah tertutup rapat.

Dengan sebuah payung berukuran sedang, aku tapaki hamparan kota Jogja yang mulai padat, layaknya sang Ibu Kota Negara. Ku telusuri jalan Lingkar Barat. Kurang lebih 100 m dipinggirnya, disitulah sebuah kampus megah berdiri membelakangi arah matahari terbenam. Jalan di depan mata tampak bagaikan lorong berhujankan sinar-sinar lampu kota. Sesekali diterobos oleh kendaraan yang melintas begitu cepat. Aku berhenti sejenak. Sekali lagi aku posisikan mataku ke arah kampus yang kini menjadi hasil dari mimipiku. Impian terbesar yang pernah aku rancang sejak aku menempati bangku kelas X SMA. Tepatnya 4 tahun yang lalu. Pipiku merekah. Aku tercenggang belum begitu percaya dengan keadaanku saat ini. Dengan nafas panjang dan senyum puas, kampus berlogo UMY ini segera aku tinggalkan.

“Yes!!! Akhirnya aku bisa kuliah. Besok pagi? Ya, benar besok pagi”. Ujarku pelan. Ya, inilah cita-citaku, cita-cita yang mungkin hanya orang keras kepala sepertiku yang mampu memepertahankanya. Harusnya tahun ini aku menginjaki semester 3. Sayangnya otonomi kampus masih dipelihara oleh hampir di semua Universitas, sehingga biaya kuliah semakin melambung tinggi, dan orang berekonomi menengah ke bawah sepertiku, dipaksa harus mengumpulkan uang, sekedar untuk mendapatkan gelar sarjana. Ibu telah meninggal 7 tahun yang lalu, saat aku berusia 13 tahun. Semenjak ibu pergi, bapak mencari kebahagiaannya sendiri. Tanpa membaginya denganku, Udin, dan juga simbok.

Adzan maghrib bersahut-sahutan di setiap surau. Tak terhitung jumlahnya. Nampaknya malam sudah benar-benar menjelang. Petang itu masih diwarnai semburat-semburat awan berwarna oranye. Pantulan dari merahnya rona senja, meski derai-derai gerimis kecil masih membasahi permukaan bumi yang ku pijaki ini.

Ngeeeeeee…..k. perlahan aku membuka pintu tua dirumah simbok yang aku tempati.

“Assalamu’alaikum….” Sapaku pada simbok, yang barangkali ada di dalam rumah.

“Wa’alaikumsalam.” Jawabnya.

“Kok baru pulang Sri?.” Tanya simbok, sembari mengirisi gaplek untuk dijual besok pagi. Wanita berkulit keriput ini tampak lesu. Mungkin ia kecapai’an mengirisi gaplek.

“Iya nih mbok. Tadi di toko banyak yang pesen kue, habis itu lihat pengumuman. Jadi, ya terpaksa Asri pulang jam segini.”

“Terus hasilnya gimana?.”

“Alhamdulillah mbok, Asri diterima.”

“Syukur alhamdulillah, simbok ikut senang. Belajar yang bener, biar keturunan simbok ada yang bisa sekolah sampai tinggi.”

Perintah simbok yang baru saja ia undang-undangkan itu aku jawab dengan senyum kecil dibibirku. Simbok kembali disibukkan dengan pekerjaannya, ditemani temaram lampu dapur yang memang hanya 5 watt. Aku tahu, apa yang sedang simbok rasakan saat ini sama dengan yang aku rasakan. Hanya saja perasaan itu sengaja ia sembunyikan dibalik kesedihannya memikirkan biaya kelanjutan kuliah itu.

Sesaat kemudian ruangan itu mendadak menjadi sepi. Aku sibuk melepas lorongan jilbab yang baru saja aku pakai. Kemudian menggantungkanya di balik pintu bersama baju-baju kotor beberapa hari lalu. Saat ini pandangan mataku tertuju pada smbok. Irisan gaplek menggelayangi lamunannya. Entah apa yang sedang ia pikirkan. Barangkali ia berpikir kalau bapak ada disini, pasti ia tak perlu lagi memutar otak untuk membayar kuliahku.

Huh, apa untungnya memikirkan laki-laki bejat itu? Toh dia juga belum tentu memikirkan simbok dan kedua cucunya. Kapan bapak mengunjungiku, atau hanya sekedar melihatku. Ketika ia pulang dari Lampung. Meraba kening Udin ketika ia sakit, atau hanya sekedar memeberikan anak 8 tahun itu sebungkus permen, pun tak pernah ia lakukan. Bapak telah silau dengan dunianya saat ini, sejak ia memilih bu Wati menjadi pengganti ibu. Meski bu Wati sendiri adalah janda beranak 3 yang terkenal sangat pelit di derahnya. Tiba-tiba tanganku mengepal kuat, sangat kuat. Rona mukaku menjadi merah padam. Aku benci semua ini. Ku hentakkan kaki kananku ke lantai yang telah pecah-pecah tak karuan. Hentakkan itu menimbulkan getaran yang akhirnya memaksa simbok menoleh ke arahku.

“Kamu itu kenapa to Sri? Mbok cepetan maghrib sana. Keburu waktu maghribnya habis!.”

“Ya mbok.” Aku berlalu dari tempatku semula berdiri dengan wajah bersungut-sungut.

***

Selepas shalat maghrib, aku membawa tabungan berbentuk ayam jago ke hadapan simbok yang tengah terbius oleh irisan-irisan gaplek.

“Simbok sudah sholat?.”

“Sudah. Mau kamu apakan celengan itu?.”

“Mau Asri buka mbok, buat tambah-tambah bayar kuliah. Pinjam pisaunya mbok!.”. Simbok mengulurkan pisaunya yang sangat tajam. Beberapa saat kemudian, tabungan yang berisi uang recehan dan seribuan itu telah terbuka.

“Empat ratus lima puluh… empat ratus enam puluh… empat ratus tujuh puluh… ya….h masih kurang mbok.”

“Memangnya kurang berapa?.”

“kira-kira kurang tiga puluhan ribu. Gimana ya, Asri sudah ndak punya uang lagi. Tabungan juga cuma ini. Kalau mau cari tambahan, harus nunggu gajian bulan depan. Padahal bulan depan pembayarannya sudah ditutup.”

“Ya sudah, kamu pakai uang simbok dulu saja. Besok diganti bulan depan, sana ambil di dompet simbok!.”

“Ya sudahlah mbok.” Aku berjalan menuju kamar simbok, dan mencari dompet yang dimaksudkannya. Nah ini dia. Ku temukan dompet itu di samping dirigen minyak tanah. Kosong. Tak seliter minyak pun mengisinya. Aku tak begitu paham dengan dirigen itu. Ironisnya dompet simbok hanya berisi uang lembaran sepuluh ribuan dan duapuluh ribuan. Uang yang sangat mepet untuk kuambil. Jika ini kuambil, lalu simbok mau mengganti modalnya pakai uang yang mana?. Ku kembalikan dompet itu ke tempatnya semula, dan berjalan kembali ke hadapan simbok.

“Lho, kok ndak jadi diambil Sri?.”

“Ndak usahlah mbok. Uang itu pas. Nanti simbok mengganti modal pakai uang apa?.”

“Terus kalau ndak kamu pakai uang itu, kamu mau sekolah pakai apa?.” simbok balik bertanya. ”Nduk, hasil simbok jualan besok pagi insya Allah masih bisa balik modal, syukur-syukur nanti ada sisanya. Kebetulan besok pagi bu Santi ada hajatan. Jadi untuk konsumsinya, beliau minta simbok untuk membuatkan. Sudah to diambil dulu saja.”

“Ya sudah mbok, ini uangnya Asri pakai dulu ya.”

***

Awan mendung siang tadi masih menyisakan gerimis kecil. Beberapa menit lagi, adzan ‘isya akan terdengar. Tiba-tiba pintu tua yang terpasang di depan seperti diketuk pelan. Barangkali sang tamu takut kalau-kalau ketukannya mencuri perhatian tetangga sang pemilik rumah.

Secepat mungkin aku berlari menuju pintu itu diketuk, membuang rasa penasaranku untuk segera membukannya. Seorang wanita berdiri di depan pintu. Dengan membawa tas cangklong di pundak kanannya, dan tissue kusut di tangan kirinya. Barangkali telah ia pakai sedari tadi, sehingga tampak kumal. Mata wanita itu terlihat sembab.

“Mau apa ibu ke mari?.” Sapaku tak cukup sopan untuk tamu yang baru saja datang.

“Boleh ibu masuk”

“Silahkan!”

“O… dek Wati. Sini masuk. Ayo duduk!.”

ibu tak menghiraukan kata-kata simbok. Ia sibuk mengatur posisi duduknya. Matanya membengkak. Mungkin telah lama air matanya mengguyur puipinya yang sengaja ia poles dengan make up. Simbok menghentikan pekerjaannya, dan berjalan menuju kamar mandi untuk segera membersihkan tangannya.

Ada apa ibu ke sini? Ndak biasanya ibu datang sambil nangis-nangis seperti ini?.” tanyaku ngeles. Mungkin pertanyaan itu adalah sebuah tamparan bagi ibu tiriku ini.

“Bapakmu nduk…bapakmu…”

Ada apa dengan bapak” Memotong pembicaraan ibu. “Apa bapak sudah ndak ngasih ibu uang lagi? Atau apa bapak pengen nikah lagi.” Ucapku datar, tanpa ekspresi.

Ada apa to dek Wati? Kok nangis?.” Tanya simbok, tiba-tiba muncul dari belakang.

“Ini mbok, bapak baru saja kecelakaan. Ia jatuh dari lantai 4 saat mengarahkan pekerjanya. Tulang punggungnya patah. Kemarin malam sudah operasi. Dan sekarang dirawat di rumah sakit Mandala, di Lampung. Maksud kedatangan saya kemari, kalau ada, saya mau pinjam uang. Tabungan saya hanya cukup untuk pulang pergi ke Lampung. Untuk pengobatan bapak, saya harap Asri atau simbok bisa bantu.”

“Apa?” Aku tak tinggal diam, segera berontak. Mataku ikut berkaca-kaca, mendengar kabar bapak yang baru saja ibu kabarkan. “Enak saja!!! Kemarin ibu ke sini cuman pamer uang. Giliran Asri mau pinjam buat bayar kuliah, ibu malah membelikan Indra motor yang harganya selangit itu. Apa ibu ndak tahu? Asri sakit hati bu!!! Lalu kemana uang yang ibu pamerkan kemarin. Kenapa ibu ndak jual saja motor Indra yang cuma dia pakai buat ugal-ugalan. Maaf ya bu, Asri mau kuliah. Titik…”

Ibu hanya diam. Matanya kembali menghujankan air. Mungkin ada sedikit rasa malu dengan simbok, yang juga ikut menangis. Ruangan itu kembali menghadirkan kesepian. Aku berdiri mematung di hadapan simbok dan ibu. Tegang. Angin malam yang masuk melalui pintu depan, kembali menyayat pori-pori kulitku. Sama halnya dengan hatiku yang kini kembali tersayat-sayat oleh kata-kata ibu. Suara Udin yang biasanya selalu terdengar bisikannya, pun hilang. Barangkali anak cengeng itu mendengar aku memaki-maki ibu. Lantas ia memutuskan untuk diam. Aku tak kuat menahan semua ini. Aku berlari sekuatku menuju kamar.

Brakkkkkkk….

Ku banting pintu kamar sekeras mungkin. Sebagai apresiasi bahwa aku sangat membenci kedatangan ibu.

Kata-kata ibu masih terngiang di memoriku. Memberatkan pikiranku. Aku pusing. Butir-butir air mata mengalir menyirami lembah anak-anak sungai di pipiku yang tandus. Sungguh aku bingung. Apa yang harus aku lakukan untuk menebus kebaikan bapak yang telah membesarkanku dalam dekapannya selama 13 tahun.

***

Awan abu-abu bersemburat di ufuk timur. Menerawang setitik senar bola api raksasa. Sementara itu permukaan bumi di bagian lain masih tampak sangat gelap. Cahaya mentari nampaknya belum mampu menghapus kabut-kabut yang masih ingin meneteskan setitik embun itu. Beberapa hari ini matahari tak menempakkan sinarnya. Tapi inilah saatnya menuntut ganti atas tidak terbitnya mentari beberapa hari ini.

Pagi ini kumulai dengan bersepeda menuju bank, untuk membayarkan cicilan awal kuliah. Perasaan kecewa, sedih, bingung, tak karuan menjadi sebuah perang dingin dalam medan batin. Mataku sayu. Suara kendaraan di sepanjang jalan lingkar barat yang sepak terjang saling mendahului, menjadi teman setiaku.

Kata-kata ibu tadi malam menyisakan penderitaan tersendiri bagiku. Penderitaan yang selama ini telah mengendap karena keegoisan bapak. Di sudut terpencil di hatiku, tak ku temukan jawaban atas kegundahanku. Harus dikemanakan uang linaratus ribu ini? Yang pasti aku tak sudi membiayai pulang pergi bu wati dari Lampung, sementara aku sendiri terkatung-katung tak mendapatkan hasil jerih payahku selama ini menabung. Bukannya aku tak berbakti pada bapak yang telah memberiku makan selama 13 tahun. Hanya saja, aku benci tingkah bapak, yang dengan mudah melupakanku setelah ia menikahi bu Wati. Aku butuh uang ini untuk bayar kuliah. Terserah bu Wati mau bayar pakai uang apa. Salah sendiri mereka semua mengabaikan aku. Pokoknya keegoisan harus dibalas keegoisan.

***

Aku berlalu pergi, setelah teller memberikan buku tabunganku yang tampak kusut. Rekening ini memang sudah lama tak kumanfaatkan untuk transaksi, bahkan buku itu sempat menghilang. Mau transaksi apa. Sepeser uang pun kadang aku tak punya. Kalau tidak untuk bayar kuliah, mana mungkin buku ini mati-matian kucari.

Tapi, kenapa tiba-tiba ada uang 14 juta masuk ke rekening ini. Nggak mungkin. Aku nggak pernah nyimpan uang sebanyak itu. Apa ada orang yang salah kirim.

Belum sempat pergi keherananku, hpku berbunyi. Nomor siapa ini. Belum pernah masuk dalam daftar phone bookku.

“Asri?.” Suara dari seberang. Terdengar sangat parau seperti menahan rasa sakit yang ditutup-tutupi. Tapi siapa ini?.

“Iya. Saya Asri. Maaf dengan siapa ini?.”

“Ini bapak nduk.”

“Bapak?. Bapak apa kabar?. Operasinya bagaimana?.”

“Bapak masih sakitlah nduk. Tubuh bapak rasanya terbelah. Nduk, bagaimana sekolahmu? Udin, sekarang kelas berapa si jagoan bapak itu. Kata ibu, kamu sudah mau masuk kuliah ya?.” Tanya bapak, dengan logat Sumatranya. Terdengar bersemangat. Selama ini aku dan bapak tak pernah calling. Ini keterlaluan memang. Bapak mana yang tak tahu usia anak-anaknya. Yang tak tahu anaknya hampir mati tercekek si penyakit miskin. Tapi aku hanya diam. Meski sejujurnya perasaanku ingin berontak. Kasihan bapak. Saat ini bukanlah waktu yang tepat untuk menuntutnya.

“Nduk. Ini bapak kirim sedikit uang untuk bayar kuliahmu dan untuk makan.”

“Jadi, yang kirim uang tadi bapak?. Kebetulan pak. Asri baru saja dari bank. Oh ya pak, ibu sudah sampai situ?.”

“Sudahlah, ini sekarang duduk di samping bapak. Katanya tadi malam kamu maki-maki ya. Ayo ngaku…!!!.”

“Emh… iya pak. Habis gimana lagi. pak, tolong sampaikan maaf Asri unutk ibu ya.” Bapak diam. Kaku. Aku tak tahu harus ngomong apa lagi. Yang ku rasa saat ini, adalah kebahagiaan. Kebahagiaan yang selama ini telah tervakum dalam bilik hampa keegoisan bapak. Tapi saat ini semuanya telah termaafkan. Rasa kaku itu menghadirkan sedikit kerinduan yang selama 7 tahun ini tak pernah terkuak.

“Asri…” bapak melanjutkan pembicaraannya.

“ya pak.”

“Bapak minta maaf ya. Selama ini, bapak telah tertipu oleh nikmatnya harta. Bapak sibuk mengejar lembaran demi lembaram uang itu. Yang mungkin tak ada artinya andaikan bapak bekerja di Jogja. Nduk, Allah telah menegur bapak. Asri mau kan memaafkan bapak.”

“Insya Allah pak.” Aku menangis. Mendengar bapak mem-flash back penderitaanku 7 tahun terakhir.

“Nduk, kamu di mana. Simbok ada kan? Tolong panggilkanlah. Bapak mau bicara.”

“Pak Asri masih di depan kantor bank. Nanti kalau sampai rumah ya.”

“Ya sudahlah. Titip salam saja untuk simbok dan Udin. Suruh Udin itu belajar yang rajin. Kamu juga, kuliahnya yang bener. Jaga simbok. Ya sudahlah. Ini bapak ditunggu-tunggu pak dokter, dipaksa minum obat katanya.”

Tuuu…t Tuuu…t Tuuu…t.

Sambungan telepon terputus. Lagi, aku meneteskan air mata. Bukan karena jengkel. Ini air mata haru.

***

Baru saja aku rebahkan tubuhku di atas kasur tipis itu. Perjalanan dari rumah ke bak memang sangat melelahkan. Terlebih aku hanya bersepeda. Otot-otot punggungku terasa terulur. Naik sepeda berkilo-kilo tak membuat kakiku pegal-pegal. Ini sudah terbiasa ku lakukan untuk pulang pergi ke toko yang jaraknya mencapai 10 kilometeran.

Ku buka hpku lagi. sebuah pesan singkat masuk 30 menit yang lalu. Nomor yang tadi. Cepet-cepat ku buka. Siapa tahu dari bapak.

Ass. Kakaku Asri. Sabar ya… Allah sudah memeberikan yang terbaik. Setelah bapak menutup telepon tadi, entah kenapa bapak langsung tak sadarkan diri. Sebenaranya bukan dokter yang memaksanya untuk minum obat. Tapi malaikat izraillah yang memaksanya unutk segera menutup telepon kakak. Kak saya harap kakak tabah menghadapi cobaan ini. Jzkmllh. Indra. Wss.

Aku tahu arah pembicaraan Indra. Ternyata kebahagiaan sesaat itu telah tertutup oleh pintu-pintu langit. Ya Allah kenapa Kau ambil bapak disaat aku telah merasakan sedikit kasih sayangnya. Kembalikanlah dia padaku Robbi…Izinkan simbok dan Udin merasakan sempitnya kebahagiaan yang tak sampai satu jam aku rasakan.

Semuanya telah berlalu. Ini tak adil. Kenapa semua ini hanya sebentar.

Aku sesenggukan menangis. Sampai simbok datang membelai kerudungku. Sorot matanya memancarkan rasa iba, seakan menyampaikan pesan dari hatinya yang menyuruhku untuk sabar. Ia memelukku dan Udin yang kini hanya sebatang kara. Ku peluk kembali simbok kuat-kuat. Ku pandangi lekat-lekat wajahnya dan wajah Udin. Terpampang jelas kemiskinan kasih sayang yang terpajang di plupuk matanya. Kasihan sekali anak itu. Sejak ia lahir tak pernah ia minum hangatnya belaian ibu dan bapak….

1 komentar:

  1. Ini tugas akhir olym cerpen dulu itu yah? kok nggak jadi dikirim?

    -@uliya-

    BalasHapus