Kamis, 27 November 2008

Tapak Kaki Kehidupan

Alkisah……………….
Seorang akhwat pernah berkeluh kesah, menahan kesabaran yang telah dibangunnya hingga melebihi batas cakrawala. Apa gerangan penyakit yang sedang mengacak-acak fikirannya? Apa dia resah karena McCain ga jadi presiden, padahal McCain adalah pengasuhnya diwaktu kecil, apa karena suatu ketika Ia tahu bahwa pakdhenya, pakdhe Einstein ketahuan memotong rambutnya? Atau, dia ikut-ikutan resah soal kacamata Ian Kasela yang menghilang entah pergi ke hutan mana. Ah, ana yang ummi ini memang tak mampu menangkap keraguan yang tersirat disetiap derai air matanya. Kasihan sungguh kasihan, sekolah buat mainan (heee). Ternyata bukan ini itu masalahnya. Sesuatu mengganjal di perutnya, eh salah di hatinya. Apa dooooong, apa batu? tapi kayaknya kalo batu ga mungkin ngganjel, masuk juga enggak. Ayo, coba dipikir…
Tapi suatu ketika, orang blo’on kayak aku ini mampu mengungkapnya, yeee… berhasil, berhasil, hore, hore! Memang bener kata uminya ‘wekmu wekku, wekku wekku.’ (punyamu punyaku, punyaku ya punyaku) –pikir sendiri artinya buk!- Rupanya pepatah konyol inilah yang meracuni pikiranya hingga ia rela menagis semalam, bahkan berhari-hari. Just for menahan efek samping dari pepatah ga jelas untuk siapa itu. Sang akhwat terus diam, berbicara dalam kebisuan hatinya. Kuelus-elus pundaknya, dan seperti kebanyakan orang aku cuma bisa berkata ”sabar…..sabar, manusia itu ga pernah lari dari penderitaan, tapi keterpurukan akan menerjunkannya jika ia tak sabar” aku bisa berkata layaknya puitis baru gedhe ini karena mencuplik sedikit kata-katanya (huaa..haa.haa..haa. ups hiii… hiiii..). Kawan coba dengar apa jawabnya….ketika ku tanya mengapa…. Coba tebak apa jawabnya? She said “kalo sabar itu juga tiap hari udah sabar, kelewat malah. Tapi hasilnya? Apakah dengan sabar bisa menghentikan perlakuannya padaku? Apa dengan sabar dia akan berubah? Apa dengan sabar dia juga mau tahu perasaan orang lain? Nggak! Dia memang ga pernah akan tahu masalah ini, karena dia memang ga pernah melihat ke bawah, dia selalu melihat ke atas, dan menginjak-injak apa yang ada di bawahnya, sekalipun itu ular yang paling ditakutinya. Aku harus gimana lagi ukh…”. Waouowwww kata-katanya cetek tapi menyakitkan. Nampaknya kesabarannya tak mampu lagi dibendungnya. Ah, aku pun masih berputar putar dalam terowongan kebingungan, aha! Aku tahu siapa yang dimaksudkannya. Kalo ga dia ya dia, mau siapa lagi. Emh, mbulet juga. Pasalnya ga cuma akhwat ini yang merasakan sulit nafas alias sesak melihat kelakuan orang yang dimaksudnya. Aku pun juga pernah, tapi aku kan ga begitu peduli tentangnya, lagian dia juga ga peduliin orang laen, udah karakternya aja kali. But, setahuku selama ini akhwat ini selalu deket sama orang yang ditangisinya itu n itu fine-fine aja. Karena apa lagi? Ya karena seolah-olah dia dijerat oleh kepalsuan dan manisnya ikatan ukhuwah. Emang sih, selama ini fulanah (orang yang disebutnya di bagian awal halaman ini) suka menangnya sendiri, rupanya pepatah itu kembali berlaku dibagian ini. apalagi kalo diskusi, kayaknya si ukhti malang ini ga dianggep. Belum lagi kalo pelajaran biasa, aduhh kayaknya aku juga pengen nangis. Terus kalo ada orang ngomong aja, disosor melulu, kayaknya dia itu emang udah pinter, tapi terkadang s-o-t-o-y ( kata temenku sih spellingnya gitu) padahal disinilah medan paling tepat untuk belajar memintal kedewasaan.
Uhh, biarlah pikirannya terpusingkan tentang pertunjukkan yang fulanah gelar di pasar pentas kehidupan. Dan hati ini terus saja ikut merasakan penderitaan si akhwat, yang selalu, selalu, dan selalu menggali dalam-dalam untuk membangun benteng kesabaran dan ketabahan yang se-kokoh-kokohnya.
Yang pasti dalam rentetan baris ini, sebagai generasi pecinta Muhammad, wala pejuang sejati syari’ah islam demi terwujudnya kehidupan islam, saya cuma ngasih uraian singkat yang agaknya rada panjang dibanding puisi Aku ingin hidup seribu tahun lagi karya Chairil Anwar.
Firstly, kita ini hidup dizaman yang orang bilang itu sekuler buk! Ingat itu! Semu bidang yang ada in our country semua didesain manis banget, coba aja, semua system janjinya adalah MATERI. Tul nggak!!! Di absen dulu, system pendidikan kita mengajarkan belajar terus biar nantinya bisa jadi ilmuwan. System ekonomi bilang tekanlah biaya produksi sekecil-kecilnya untuk mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya. System kemasyarakatan kita mencetak generasi-generasi yang bebas kelewat batas dalam bergaul, berinteraksi, de el el.
From the facts above, I personaly believe that (hloh kok malah kayak mrs. Narti?), bahwa semua itu landasannya adalah asas manfaat. Ga ada khan, di zaman yang serba modern ini orang cari duit dengan uang bukan hasil riba? Ato, Anak Belajar Gaul(ABG), nyang pakaiannya longgar binti menutup aurat?
Lan, menopo kaitanipun kaliyan bocah kekalih wau?
Pertama, kembali lagi ke system pendidikan. Sebagai pelajar saya merasa jengkel tiap akhir bab harus ulangan. Belum lagi nanati kalo pas ga mod n belum belajar, hasil pasti jelek, udah gitu apa kata teman-temen? Jujur kalo tempatku, nilai ulangan jeblok adalah kutukan, kok bisa? Ya bisa lah. Back to pendidikan. Mungkin selama ini akhi ukhti telah tertipu oleh gaya pendidikan kita. Yang dikejar apa sih? Nilai kan? Artinya kalo nilai belum mencapai KKM harus ikut ulangan susulan. Itu belum menjamin kita bisa paham sama pelajaran yang selesai diujiankan. Maksimal siang ini ulangan minggu depan udah kabur tuh pelajaran. N bagi temen-temen kita yang malas mikir, otomatis mereka terus mencari dan menggali cara-cara instant demi mencapai KKM, salah satunya nyontek. Padahal nyontek adalah perbuatan terkutuk yang dihembuskan oleh bapak ibu guru sejak era orde lama hingga zaman baholak ini. nah kaitannya dengan si fulanah tadi, emang dia karakternya juga kayak gitu, lebih-lebih system pendidikan juga ga mendukung. Jadi yang terinjak-injak semakin terinjak-injak, yang terjebak semakin terjebak, dan apa sajalah.
Selain itu, system pendidikan kita juga membuat kita tersibukkan dengan urusan keduniawian kita. Bagi yang IPA, kebanyakan dari mereka disibukkan dengan aktivitas penelitian atau apalah yang tentunya itu membuatnya terlena dengan perjuangan membela din yang kaffah ini. lain lagi dengan anak IPS. Anak-anak ini lebih parah. Kebanyakan mereka malah diajak buat memusuhi islam. Bandingin aja dg system pendidikan islam. Nggak bakalan deh ada yang namanya kompetisi memperebutkan kursi rangking kelas. B’cause, system pendidikan dibuat beda sama Allah, karena hanya Allah-lah yang tahu segalanya.
Wallahu a’lam.

1 komentar:

  1. Ceritanya mencurhatkan masa SMA (ku dan mu) iki...
    jadi ingat sama ukhti di awal baris itu. "apa kabar calon bu guru SD yang menyakitiku".


    -@uliya Rahman-

    BalasHapus