Selasa, 14 Februari 2012

Bukan Kisah (Sepotong Senja)

Disetiap masa selalu ada bahtera yang karam. Ini bukan kisah sepotong senja yang diselimuti oleh kabut rekayasa. Kami hidup di suatu masa dimana sejarah hanya tinggal nama di bangku sekolah. Tokoh-tokoh besar diputarbalikkan sehingga yang kami kenal adalah Crayon Shincan. Agama kami –dengan sejuta makar jahat- disudutkan di pojok sempit surau yang berdebu dan becek ketika hujan. Seakan memeluk agama kami adalah suatu kutukan, kesalahan, berkelas dua dan rendahan, serta wajib dimusnahkan.

Yang kami temui setiap harinya adalah wanita-wanita yang terrenggut kehormatannya, anak kecil kehilangan ibunya, pembunuhan terjadi dimana saja, bahkan hidup menderita diatas penguasa yang berpesta pora. Sementara tak banyak pemuda yang mengambil bagian untuk mengentaskan derita itu, alih-alih mereka justru memikirkan hidup mereka sendiri. Bagaimana agar bisa hidup enak mengikuti kemauan mereka, entah bagaimanapun caranya. Bisa hidup tenang tanpa memikirkan orang. Individualis.

Kami hanyalah sebagian kecil yang jika dinalar dengan logika rasanya tidak mungkin berdiri di sini. Ada yang bilang bahwa kami ini adalah minoritas, namun bagi kami itu bukan masalah. Kami tak peduli sekalipun mereka mengatakan kami ini gila.

Memang benar, disetiap masa selalu ada kapal yang karam karena beratnya samudera ini. Hanya yang mampu bertahanlah yang akan sampai ke dermaga surga. Kami mengakui letihnya mendayung setiap pagi. Memutar otak untuk memasarkan ideologi. Bahkan kami sering berpikir “kapan kami istirahat ya Allah?”.  

Tapi apakah kami layak bersanding dengan Rasulullah jika hanya urusan yang sekecil ini di mata beliau, kami tidak mampu menjalankannya? Apakah kami layak, jika Abdullah Bin Jahsy saja rela mengorbankan telinga dan hidungnya terpotong untuk memberikan kesaksian bahwa dia seorang syuhada’? apa kami layak jika Mush’ab Bin Umair yang borjuis saja sanggup dipotong kedua tangannya untuk mempertahankan Arraya’? Apa kami layak diberikan gelar mujahid/mujahidah? Sungguh kami ini bukan apa-apa dimata mereka bahkan syabab yang lainnya. Kami hanya buih di tengah luasnya lautan keimanan mereka.

Sependek yang kami bisa lakukan, akan kami lakukan. Karena kami telah mempersiapkan diri untuk menjadi martir bagi ideologi ini. Mereka (Shahabat) begitu lantang meneriakkan “Hidup mulia atau mati syahid”, bagi mereka tidak ada pilihan lain. Jika menang, maka kemuliaan islam dalam genggaman, dan bukan kekuasaan. Sekalipun harus terpanah, maka panah itu adalah jalan pintas mereka menuju jannah.

Sekali lagi, kami bukan apa-apanya. Waktu satu detik terasa sangat ringan terbuang sia-sia. Sementara mereka, waktu satu detik amat disayangkan meski hanya untuk meraut pena. Mereka mampu melihat apa yang tidak terlihat oleh mata, yaitu berupa keyakinan. Byzantium tidak akan jatuh jika Mehmed II tak memiliki keyakinan sekeras baja. 

Mereka persembahkan yang terbaik untuk kemuliaan umat islam, mereka rela tubuhnya dicincang, bahkan merupakan suatu kebanggan. Tak terpikirkan oleh mereka timbunan harta dan proyek untuk memperkaya diri. Air mata terlalu berharga jika meleleh untuk menangisi kemalangan nasib. Karena begitulah keikhlasan mengajar mereka. Seandainya bukan karena keikhlasan, barangkali 250.000 pasukan tidak akan mampu dikerahkan untuk mengepung Konstantinopel yang sangat dingin.

(Bersabarlah wahai jiwa, karena sabar itu hanya sebentar)














#Nge-melow penuh cinta, sampai luber.
 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar