Senin, 10 September 2012

Politik Pertanian Islam



Politik? Emang gue pikirin?, Politik itu siasat kotor. Begitulah komentar sebagian orang ketika ditanya mengenai politik. Kalimat yang bernada apatis itu rupanya hampir melanda pemuda-pemuda kita ditengah krisis pemikiran saat ini. Barangkali kalau mau iseng ngepoin (ehm) profile facebook teman-teman tentang “politic view”nya isinya hampir sama; tidak peduli.

Tampaknya harus kita satukan dulu persepsi mengenai politik. Dalam buku karya Muhammad Muhammad Ismail dijelaskan bahwa arti kesadaran politik adalah upaya manusia untuk memahami bagaimana memelihara urusannya. Politik adalah tindakan untuk memelihara apa yang menjadi urusan ummat. 

Kesadaran politik adalah suatu pandangan yang universal (mencakup seluruh dunia internasional) dengan sudut pandang yang khas. Pandangan yang universal tanpa melalui sudut pandang yang khas adalah pandangan yang dangkal, dan bukan merupakan kesadaran politik. Begitu juga pandangan yang bersifat regional adalah pandangan yang sempit, dan tidak membentuk kesadaran politik (Ismail, 1993).


Dalam hal ini ada dua titik tekan penting, yakni pandangan yang universal dan pandangan tersebut harus bertolak pada sudut pandang pemikiran yang khas. Sedangkan kesadaran akan situasi politik, posisi politik, atau peristiwa-peristiwa politik saja belum cukup dikatakan sebagai kesadaran politik kecuali didasarkan pada ideologi (sudut pandang tertentu). Dalam hal ini sudut pandang yang khas berasal dari ideologi (mabda’) islam. Dari situlah, politik di dalam islam diartikan sebagai ri’ayah syu’unil ummah (memelihara permasalahan ummat).

Sebagai mahasiswi pertanian, saya mencoba mencari bagaimana pemahaman islam mengenai politik pertanian, terlepas dari aspek budidaya dan sisi teknis lainnya. Nah, ternyata belum banyak referensi mengenai hal ini. Kebanyakan literatur membahas seputar peningkatan produksi pertanian, dan sedikit sekali yang membahas mengenai bagaimana jaminan peningkatan produksi pertanian tersebut, baik dari segi jaminan teknis oleh negara maupun kebijakan politiknya. Kalaupun ada, masih sangat minim kesadaran politiknya. Padahal pertanian merupakan subsektor yang mendapat perhatian penting dalam islam.

Pembahasan mengenai politik pertanian tidak pernah terlepas dari produksi pertanian, kebijakan di sektor industri, serta kebijakan di sektor perdagangan hasil pertanian

1.      Sektor produksi pertanian

Pada dasarnya politik pertanian ditujukan untuk meningkatkan produksi pertanian dan menjamin ketersediaan pangan melalui program intensifikasi dan ekstensifikasi. Intensifikasi ditempuh dengan menyedediakan sarana produksi pertanian seperti bibit unggul, pupuk, pestisida, pengadaan teknik-teknik modern, dsb. Berkaitan dengan hal ini, negara harus memberikan modal secara cuma-cuma untuk petani agar mampu mengolah lahan yang dimilikinya. Dengan cara seperti ini, petani tidak mampu tidak akan merasa terbebani untuk mengembalikan utang kepada pemerintah. Berbeda dengan politik pertanian kapitalisme, dimana pemerintah berpijak pada sistem ribawi, dimana negara angkat tangan dalam urusan rakyatnya.

Sedangkan ekstensifikasi dilakukan untuk memperluas lahan pertanian. Negara akan mendorong masyarakat untuk menghidupkan tanah mati, memberikan lahan bagi orang yang mampu bertani tetapi tidak memiliki lahan, mencabut kepemilikan lahan apabila tidak diolah selama lebih dari tiga tahun, melarang penyewaan lahan pertanian, menerapkan kebijakan yang tegas untuk mencegah konversi lahan pertanian menjadi lahan non-pertanian seperti perumahan dan industri. Negara juga melarang konversi hutan menjadi lahan pertanian, sebab kepemilikan umum (seperti hutan, tambang, dll) harus dipertahankan sifatnya sebagai kepemilikan umum. Mempertahankan kepemilikan umum ini akan mencegah terjadinya kerusakan lingkungan hidup sebagai dampak pengelolaan SDA yang tidak bertanggung jawab (Rosadi, 2008).

Perlu diketahui dalam hal ini negara menjalankan perintah dari syara’. Negara hanya tunduk pada hukum-hukum syara’ bukan hukum buatan manusia. Seperti larangan penyewaan tanah misalkan, diambil dari hadist rasulullah yang berbunyi

“siapa saja yang memiliki tanah, hendaknya ia menanaminya atau menyerahkannya kepada saudaranya untuk ditanami tanpa kompensasi dan jangan menyewakannya dengan sepertiga, atau seperempat dan jangan dengan makanan yang disepakati.” (HR. Abu Dawud, an-Nasa’i dan Ibn Majah).

Semua perintah syara’ tidak boleh diragukan lagi kebenarannya dan tentu saja syari’at itu diturunkan untuk kemaslahatan manusia. Bukan untuk mempersulitnya.

2.      Kebijakan di sektor industri pertanian

Di sektor industri pertanian, negara hanya akan mendorong berkebangnya sektor real saja, sedangkan sektor non-real yang diharamkan tidak diberi kesempatan untuk berkembang kebijakan ini akan tercapai jika negara bersikap adil dengan tidak memberikan hak-hak istimewa dalam bentuk apapun kepada pihak-pihak tertentu, baik hak monopoli maupun pemberian fasilitas khusus. Seluruh pelaku ekonomi akan diperlakukan secara sama. Negara hanya mengatur jenis komoditi dan sektor industri apa saja yang boleh dibuat. Selanjutnya, seleksi pasar akan berjalan seiring dengan berjalannya mekanisme pasar. Siapa saja berhak untuk memenangkan persaingan secara wajar dan adil. Tentunya pelaku ekonomi yang memiliki kualitas dan profesionalitas tinggi yang akan dapat memenangkan persaingan (Rosadi, 2008).

Industri pertanian akan tumbuh dengan baik apabila sarana dan prasarana yang mendukung tumbuhnya industri pertanian tersedia secara memadai. Sarana dan prasarana tersebut seperti tersedianya bahan baku industri pertanian, yakni bahan-bahan pertanian yang memadai dan harga yang layak, jaminan harga yang wajar dan menguntungkan serta berjalannya mekanisme pasar secara transparan dan tidak ada distorsi yang disebabkan oleh adanya kebijakan yang memihak. Selain itu, juga adanya prasarana jalan, pasar dan lembaga-lembaga pendukung pertanian lainnya seperti lembaga penyuluh pertanian dan lembaga keuangan yang menyediakan modal bagi usaha sektor industri pertanian. Semua ini diperlukan agar industri pertanian dapat tumbuh dengan baik (Rosadi, 2008).

3.      Kebijakan di sektor perdagangan hasil pertanian

Di sektor perdagangan, negara harus mempunyai kebijakan yang mampu menjamin terciptanya distribusi hasil pertanian yang adil melalui mekanisme pasar yang transparan, tidak ada manipulasi, tidak ada intervensi yang dapat menyebabkan distorsi ekonomi serta tidak ada penimbunan yang dapat menyebabkan kesusahan bagi masyarakat.

Untuk itu, negara harus membuat beberapa kebijakan, diantaranya:
Pertama, negara harus menjamin agar mekanisme harga komiditi pertanian dan harga komoditi hasil industri pertanian dapat berjalan secara transparan dan tidak ada manipulasi hal ini dimaksudkan agar harga yang berlaku benar-benar transparan dan tidak ada yang memanfaatkan ketidaktahuan satu pihak, baik penjual dan pembeli. Rsaulullah bersabda “janganlah kalian menghadang kafilah-kafilah (orang-orang yang berkendaraan) dan janganlah orang yang hadir (orang di kota) menjualkan barang milik orang desa” (HR. Bukhari dan Muslim).

Kedua, negara harus membuat kebijakan yang dapat menjamin terciptanya harga yang wajar berdasarkan mekasnisme pasar yang berlaku. Islam melarang negara menggunakan otoritasnya untuk menentukan harga, baik harga maksimum maupun harga minimum. Mayoritas ulama telah sepakat tentang haramnya campur tangan penguasa dalam menentukan harga. Dalam hal ini negara wajib membiarkan kedua belah pihak (penjual dan pembeli) menentapkan harga yang wajar sesuai keridhaannya. Memaksa salah satu pihak merupakan tindak kedzaliman.

Ketiga, pemerintah harus dapat mencegah terjadinya penipuan seperti yang sering terjadi, baik yang dilakukan oleh penjual maupun pembeli. Sabda rasulullah “Tidak halal seseorang yang menjual sesuatu melainkan hendaklah ia menerangkan (cacat) yang ada pada barang tersebut” (HR. Ahmad)

Keempat, Pemerintah harus mencegah berbagai tindakan penimbunan produk-produk pertanian dan kebutuhan pokok lainnya. “Orang yang mendatangkan barang (akan) diberikan rezki sebaliknya orang yang menimbun akan dilaknat” (HR. Ibn Majah dan ad-Dailami).

Kelima, pemerintah harus dapat mencegah perselisihan yang terjadi akibat tindakan spekulasi dalam perdagangan. 

Refferensi:
Ismail, Muhammad Muhammad. 1993. Bunga Rampai Pemikiran Islam. Gema Insani Press, Jakarta.

Rosadi, Muhammad Riza. 2008. Kapitalisme:Biang Krisis Pangan. Majalah Al-Wai’e 94:14-18.

2 komentar:

  1. Saya kurang setuju di Kebijakan di sektor perdagangan hasil pertanian yg keempat karena bila semua penimbunan di cegah maka yang terjadi ialah harga pasar akan turun atau naik secara segnifikan karena sedikit banyaknya pasokan.ini yg akan memicu orang untuk ber spekulasi lebih besar.dan satu lagi bagaimana pemerintah mencegah berbagai macam penimbunan sedangkan pemerintah sendiri menimbun beras?

    BalasHapus