Minggu, 22 April 2012

Khilafah, Habis Gelap Terbitlah Terang


Bulan Maret 2012 ini genap satu abad peringatan International Womens Day yang diperingati di seluruh dunia. Berbagai macam acara digelar, dari perempuan Barat hingga perempuan Timur, mulai diskusi meja hingga seminar. Tema yang diusung sama; membicarakan hak-hak perempuan bahkan tak sedikit yang menuntutnya. Bulan berikutnya, secara serentak Indonesia memperingati hari Kartini. Tak jarang momen-momen semacam itu dimanfaatkan oleh para pegiat gender untuk menghembuskan kembali legalisasi ide-ide liberal mereka terkait kesetaraan perempuan. Seolah mereka membuat cerita sendiri untuk membenarkan ide-ide itu.

Jika dicermati, ide kesetaraan gender ini bertolak dari jaman jahiliyah. Dimana banyak terjadi diskriminasi terhadap perempuan, salah satunya pembunuhan terhadap anak-anak dan bayi-bayi perempuan dengan alasan seperti persoalan kemelaratan yang membuat mereka tak mampu memberikan nafkah hingga rasa malu. Semua itu menunjukkan rendahnya tingkat intelektualitas dan kebobrokan moral ketika itu (Mubin, 2008).

Sedemikian bodohnya tradisi masyarakat jahiliyah sebelum islam diturunkan. Hingga datang Muhammad yang membawa perubahan revolusioner bagi masyarakat dengan menegakkan sistem dan tata peradaban yang jauh lebih baik. Islam melalui dakwah transnasional berhasil menggulingkan berbagai tradisi dan sistem yang berkembang di tengah masyarakat serta menggantinya dengan tatanan kehidupan yang menunjukkan tingginya tingkat intelektualitas, moral, serta keberadaan harkat dan martabat perempuan.

Namun, dinamika masyarakat jahiliyah yang terjadi sebelum kedatangan islam ternyata masih terwariskan kepada generasi-generasi abad 21 ini. Terlebih peradaban islam yang memuliakan perempuan telah runtuh dan beragama diposisikan sebagai urusan pribadi setiap orang. Lagi-lagi perempuan menjadi pihak yang tersubordinasi, sehingga keberadaannya nyaris tidak mendapatkan tempat yang layak. 

Ditambah lagi, beberapa agama dan budaya mendeskriminasi perempuan. Keberadaan perempuan pada masa kerajaan-kerajaan tak lain hanyalah sebagai permaisuri yang fungsi utamanya adalah menjadi pelayan bagi sang raja dalam segala, hal baik logistik maupun seksualitas. Bahkan acapkali kaum perempuan menjadi umpan untuk memperoleh kekuasaan. Kebanyakan perempuan hanya ditempatkan sebagai dayang-dayang istana,  perempuan tidak pantas menduduki kursi kepemimpinan.

Dalam ajaran Hindu, seperti dikutip dari Nazhat Afza Khurshyd Ahmad, ia menjelaskan tentang niyog yang dalam agama tersebut, niyog merupakan bagian dari penghinaan atas perempuan. Dalam doktrin niyog, dijelaskan bahwa jika tidak ada kaum laki-laki, maka kaum perempuan akan tercemar dan akan bebas dipermainkan oleh laki-laki asing dan akan melahirkan anak-anak yang tidak berbapak (Mubin, 2008).

Perjalanan sejarah kerajaan dan juga sejarah umat manusia secara langsung telah menciptakan sistem patriarkat yang mencirikan adanya pola hubungan yang menomorsatukan laki-laki atas kaum perempuan. Lalu benarkah dengan membuat kedudukan laki-laki dan perempuan setara di kancah publik akan mengangkat bargaining position perempuan yang selama ini dipandang sebagai makhluk kelas dua yang harus berlindung di bawah ketiak suami? 

Bermula dari perjalanan sejarah itu lahirlah kaum feminis penjajah yang berusaha untuk melepaskan diri dari ketidakadilan terhadap perempuan. Perempuan disetarakan posisinya dengan laki-laki. Dengan berbagai jargon diantaranya “kartini masa kini”, “perempuan tidak produktif, rawan KDRT”, “keadilan dan kesetaraan gender” dan lain-lain, mereka berhasil menanamkan pemikiran-pemikiran tentang kesetaraan gender yang dipandang akan membuat perempuan menyadari keberadaan dan eksistensi dirinya. Program PEP (Pemberdayaan Ekonomi Perempuan) merupakan salah satu produk yang mereka anggap cukup relevan untuk mengangkat harga diri perempuan.
Beberapa asumsi yang gencar ditanamkan dalam rangka memuluskan langkah-langkah penjajah antara lain (Anonim, 2010):

Pertama, produktivitas diukur secara materi. Perempuan yang tidak memiliki pendapatan dianggap tidak produktif dan tidak memberikan andil pada kesejahteraan negara. Menurut asumsi ini, menjadi ibu rumah tangga biasa merupakan hal yang tercela karena tidak mampu menghasilkan uang. Sebaliknya, wanita karier dianggap lebih mulia. Dari sini timbulah eksploitasi besar-besaran terhadap perempuan. Perempuan dipaksa bekerja di luar ranah domestik. Banyak perempuan rela menjadi buruh migran dengan konsekuensi harus meninggalkan anak suami demi mendapatkan rupiah di negri orang, yang pada akhirnya banyak kasus TKW pulang berbadan dua, pulang dengan kondisi cacat, bahkan pulang tinggal jasad.

Atas nama produktivitas, perempuan dianggap mesin pencetak uang. Perempuan dinilai berharga sesuai dengan materi yang dia hasilkan. Kapitalisme memandang perempuan seperti barang yang dapat diperjualbelikan, karena itulah kecantikan perempuan seringkali digunakan promosi berbagai produk iklan sekalipun produk tersebut tidak ada kaitannya dengan perempuan.

Yang paling mengerikan adalah imbas dari propaganda tersebut. Tingginya angka perceraian, kriminalitas yang dilakukan anak-anak dan remaja, perselingkuhan, anak putus sekolah, aborsi, dan lain-lain merupakan dampak nyata dari diterapkannya asumsi-asumsi menyesatkan semacam itu.

Kedua, atas nama Kartini masa kini, perempuan diberikan porsi untuk menduduki kursi kekuasaan dan pengambil kebijakan, yang sudah jelas diharamkan dalam islam. Faktanya, 50 persen kursi kementrian diduduki oleh kaum perempuan. Pejabat setingkat regional hingga pusat dipimpin oleh perempuan. Perjuangan kesetaraan gender seperti terbatas hanya untuk meraih kuota parlemen. Pegiat gender melalui lembaga-lembaga dunianya berupaya terus menerus menekan negeri-negeri islam untuk meningkatkan partisipasi perempuan di parlemen (Sa’adah, 2012). 

Mereka seolah menutup mata bahwa upaya tersebut sejatinya tidak akan menyelesaikan persoalan. Afghanistan, Irak, Pakistan dan Sudan telah memberikan kuota yang besar di parlemen bagi perempuan, lebih besar daripada sejumlah negara-negara di Barat. Bangladesh, Pakistan, Indonesia dan Turki pernah memiliki presiden dan perdana mentri perempuan. Banyak pula negeri-negeri Islam yang sudah melegalisasikan hukum dan hak-hak politik ekonomi dan pendidikan perempuan. Namun semua itu telah gagal dalam memperbaiki kualitas hidup perempuan di negeri-negeri muslim (termasuk Indonesia). Apa yang telah dilegalisasi ternyata tidak banyak berarti di bawah sistem politik yang korup dan sistem ekonomi yang tidak berfungsi (Sa’adah, 2012).

Sesungguhnya persoalan hak-hak perempuan telah dijelaskan secara rinci dalam nash-nash, baik alqur’an, hadist dan ijma sahabat. Adakalanya Allah SWT memberikan aturan yang sama kepada laki-laki dan perempuan. Sebagai hamba Allah, keduanya dipandang dari sisi insaniyahnya yang memiliki potensi dan akal yang sama, keduanya wajib menuntut ilmu, berbakti kepada orang tua, menegakkan shalat, membayar zakat, bershaum, berhaji, mengemban dakwah, dan lain-lain.
Namun, adakalanya pula Allah memberikan aturan yang berbeda manakala dipandang dari sisi tabiat keduanya memang berbeda sebagai laki-laki dan perempuan, baik berkaitan dengan fungsi, kedudukan, meupun posisi masing-masing dalam masyarakat. Allah telah membebankan kewajiban mencari nafkah dan melindungi keluarga kepada laki-laki, misalnya. 

Sebaliknya, Allah telah telah menjadikan tugas pokok perempuan sebagai ibu dan pengatur rumah tangga (Ummun wa rabbah al-bayt). Sebagai ibu, dia wajib merawat, mengasuh, mendidik dan memelihara anak-anaknya agar kelak menjadi orang yang mulia di hadapan Allah. Sebagai pengatur rumah tangga perempuan berperan mengatur, membina, dan menyelesaikan urusan rumah tangganya sekaligus menjadi mitra bagi laki-laki bukan malah menjadi pesaing.

Islam juga membuka membuka ruang bagi perempuan untuk masuk di ranah umum, berkiprah dalam aktivitas yang dibolehkan seperti berjual beli, menjadi pedagang bahkan qadhi seperti yang dilakukan oleh khalifah Umar ra. pada saat mengangkat Syifa’ binti Sulaiman sebagai qadhi hisbah (salah satu jenis hakim dalam islam). Demikian pula aktivitas yang diwajibkan syari’ah seperti menuntut ilmu, berdakwah, dan mengoreksi penguasa. Namun demikian, islam tetap memerintahkan perempuan untuk menggunakan pakaian syar’i (jilbab dan kerudung), melarang bertabarruj, memerintahkan laki-laki dan perempuan menjaga pandangan, melarang berkhalwat, serta memerintahkan kaum perempuan yang hendak berpergian jauh untuk disertai mahramnya. Dengan aturan-aturan ini, kehormatan keduanya akan selalu terjaga dan terhindar dari tindak kejahatan seksual sebagaimana kerap terjadi dalam masyarakat kapitalis saat ini.

Sesungguhnya perempuan di dunia saat ini tengah merindukan cahaya terang ditengah lorong kegelapan. Perempuan membutuhkan payung khilafah sebagai satu-satunya institusi yang akan menerapkan seluruh peraturan-peraturan al-Qur’an. Umat islam, termasuk perempuan, di bawah naungan-khilafah benar-benar bisa merasakan kehidupan yang mulia. Mereka diselimuti perasaan aman dan nyaman serta diwarnai kewajaran dan keadilan, sebab sistem ini menerapkan keadilan menurut perspektif syara’ sebagai dzat yang paling mengerti makhluk ciptaanNya.

Hanya sistem khilafah yang melindungi kemuliaan perempuan. Betapa cerita di masa Khalifah Al- Mu’tashim Billah menunjukkan jaminan perlindungan ini. Hanya karena teriakan seorang muslimah di pasar yang karena pelecehan seorang Romawi, khalifah mengerahkan ratusan ribu pasukannya dan memimpin sendiri pengepungan kota tersebut, hingga akhirnya Romawi takluk ke dalam wilayah islam.

Oleh karena itu, umat muslim yang menolak dan tidak ikut ambil bagian dalam penerapan syari’ah islam dalam payung daulah islam, maka dapat dipastikan orang tersebut telah dibutakan oleh hawa nafsunya sendiri, jika tidak ingin dikatakan sebagai budak dari musuh Allah.

Wallahua’lam.

Anonim. 2010. Islam, Mengentaskan Kemiskinan Keluarga dan Bangsa. Muslimah Hizbut Tahrir Indonesia.
Mubin, Nurul. 2008. Semesta Keajaiban Wanita. DIVA Press, Yogyakarta.
Sa'adah, Zidniy. 2012. Perempuan Tertindas Dibawah Rezim Sekuler. Tabloid Al-Wai’e edisi April 2012.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar