Bulan Maret 2012 ini
genap satu abad peringatan International
Womens Day yang diperingati di seluruh dunia. Berbagai macam acara digelar,
dari perempuan Barat hingga perempuan Timur, mulai diskusi meja hingga seminar.
Tema yang diusung sama; membicarakan hak-hak perempuan bahkan tak sedikit yang
menuntutnya. Bulan berikutnya, secara serentak Indonesia memperingati hari Kartini.
Tak jarang momen-momen semacam itu dimanfaatkan oleh para pegiat gender untuk menghembuskan
kembali legalisasi ide-ide liberal mereka terkait kesetaraan perempuan. Seolah
mereka membuat cerita sendiri untuk membenarkan ide-ide itu.
Jika dicermati, ide
kesetaraan gender ini bertolak dari jaman jahiliyah. Dimana banyak terjadi diskriminasi
terhadap perempuan, salah satunya pembunuhan terhadap anak-anak dan bayi-bayi
perempuan dengan alasan seperti persoalan kemelaratan yang membuat mereka tak
mampu memberikan nafkah hingga rasa malu. Semua itu menunjukkan rendahnya
tingkat intelektualitas dan kebobrokan moral ketika itu (Mubin, 2008).
Sedemikian bodohnya
tradisi masyarakat jahiliyah sebelum islam diturunkan. Hingga datang Muhammad
yang membawa perubahan revolusioner bagi masyarakat dengan menegakkan sistem
dan tata peradaban yang jauh lebih baik. Islam melalui dakwah transnasional
berhasil menggulingkan berbagai tradisi dan sistem yang berkembang di tengah masyarakat
serta menggantinya dengan tatanan kehidupan yang menunjukkan tingginya tingkat
intelektualitas, moral, serta keberadaan harkat dan martabat perempuan.
Namun, dinamika masyarakat
jahiliyah yang terjadi sebelum kedatangan islam ternyata masih terwariskan
kepada generasi-generasi abad 21 ini. Terlebih peradaban islam yang memuliakan
perempuan telah runtuh dan beragama diposisikan sebagai urusan pribadi setiap
orang. Lagi-lagi perempuan menjadi pihak yang tersubordinasi, sehingga
keberadaannya nyaris tidak mendapatkan tempat yang layak.
Ditambah lagi, beberapa
agama dan budaya mendeskriminasi perempuan. Keberadaan perempuan pada masa
kerajaan-kerajaan tak lain hanyalah sebagai permaisuri yang fungsi utamanya
adalah menjadi pelayan bagi sang raja dalam segala, hal baik logistik maupun seksualitas.
Bahkan acapkali kaum perempuan menjadi umpan untuk memperoleh kekuasaan. Kebanyakan
perempuan hanya ditempatkan sebagai dayang-dayang istana, perempuan tidak pantas menduduki kursi
kepemimpinan.
Dalam ajaran Hindu,
seperti dikutip dari Nazhat Afza Khurshyd Ahmad, ia menjelaskan tentang niyog yang dalam agama tersebut, niyog merupakan bagian dari penghinaan
atas perempuan. Dalam doktrin niyog,
dijelaskan bahwa jika tidak ada kaum laki-laki, maka kaum perempuan akan
tercemar dan akan bebas dipermainkan oleh laki-laki asing dan akan melahirkan
anak-anak yang tidak berbapak (Mubin, 2008).
Perjalanan sejarah
kerajaan dan juga sejarah umat manusia secara langsung telah menciptakan sistem
patriarkat yang mencirikan adanya pola hubungan yang menomorsatukan laki-laki
atas kaum perempuan. Lalu benarkah dengan membuat kedudukan laki-laki dan
perempuan setara di kancah publik akan mengangkat bargaining position perempuan yang selama ini dipandang sebagai
makhluk kelas dua yang harus berlindung di bawah ketiak suami?
Bermula dari perjalanan
sejarah itu lahirlah kaum feminis penjajah yang berusaha untuk melepaskan diri
dari ketidakadilan terhadap perempuan. Perempuan disetarakan posisinya dengan
laki-laki. Dengan berbagai jargon diantaranya “kartini masa kini”, “perempuan
tidak produktif, rawan KDRT”, “keadilan dan kesetaraan gender” dan lain-lain,
mereka berhasil menanamkan pemikiran-pemikiran tentang kesetaraan gender yang
dipandang akan membuat perempuan menyadari keberadaan dan eksistensi dirinya.
Program PEP (Pemberdayaan Ekonomi Perempuan) merupakan salah satu produk yang mereka
anggap cukup relevan untuk mengangkat harga diri perempuan.
Beberapa asumsi yang
gencar ditanamkan dalam rangka memuluskan langkah-langkah penjajah antara lain
(Anonim, 2010):
Pertama,
produktivitas diukur secara materi. Perempuan yang tidak memiliki pendapatan
dianggap tidak produktif dan tidak memberikan andil pada kesejahteraan negara. Menurut
asumsi ini, menjadi ibu rumah tangga biasa merupakan hal yang tercela karena
tidak mampu menghasilkan uang. Sebaliknya, wanita karier dianggap lebih mulia.
Dari sini timbulah eksploitasi besar-besaran terhadap perempuan. Perempuan
dipaksa bekerja di luar ranah domestik. Banyak perempuan rela menjadi buruh
migran dengan konsekuensi harus meninggalkan anak suami demi mendapatkan rupiah
di negri orang, yang pada akhirnya banyak kasus TKW pulang berbadan dua, pulang
dengan kondisi cacat, bahkan pulang tinggal jasad.
Atas nama
produktivitas, perempuan dianggap mesin pencetak uang. Perempuan dinilai berharga
sesuai dengan materi yang dia hasilkan. Kapitalisme memandang perempuan seperti
barang yang dapat diperjualbelikan, karena itulah kecantikan perempuan
seringkali digunakan promosi berbagai produk iklan sekalipun produk tersebut
tidak ada kaitannya dengan perempuan.
Yang paling mengerikan
adalah imbas dari propaganda tersebut. Tingginya angka perceraian, kriminalitas
yang dilakukan anak-anak dan remaja, perselingkuhan, anak putus sekolah,
aborsi, dan lain-lain merupakan dampak nyata dari diterapkannya asumsi-asumsi
menyesatkan semacam itu.
Kedua,
atas nama Kartini masa kini, perempuan diberikan porsi untuk menduduki kursi
kekuasaan dan pengambil kebijakan, yang sudah jelas diharamkan dalam islam.
Faktanya, 50 persen kursi kementrian diduduki oleh kaum perempuan. Pejabat
setingkat regional hingga pusat dipimpin oleh perempuan. Perjuangan kesetaraan
gender seperti terbatas hanya untuk meraih kuota parlemen. Pegiat gender
melalui lembaga-lembaga dunianya berupaya terus menerus menekan negeri-negeri
islam untuk meningkatkan partisipasi perempuan di parlemen (Sa’adah, 2012).
Mereka seolah menutup
mata bahwa upaya tersebut sejatinya tidak akan menyelesaikan persoalan.
Afghanistan, Irak, Pakistan dan Sudan telah memberikan kuota yang besar di
parlemen bagi perempuan, lebih besar daripada sejumlah negara-negara di Barat.
Bangladesh, Pakistan, Indonesia dan Turki pernah memiliki presiden dan perdana
mentri perempuan. Banyak pula negeri-negeri Islam yang sudah melegalisasikan
hukum dan hak-hak politik ekonomi dan pendidikan perempuan. Namun semua itu
telah gagal dalam memperbaiki kualitas hidup perempuan di negeri-negeri muslim
(termasuk Indonesia). Apa yang telah dilegalisasi ternyata tidak banyak berarti
di bawah sistem politik yang korup dan sistem ekonomi yang tidak berfungsi
(Sa’adah, 2012).
Sesungguhnya persoalan
hak-hak perempuan telah dijelaskan secara rinci dalam nash-nash, baik alqur’an,
hadist dan ijma sahabat. Adakalanya Allah SWT memberikan aturan yang sama
kepada laki-laki dan perempuan. Sebagai hamba Allah, keduanya dipandang dari
sisi insaniyahnya yang memiliki potensi dan akal yang sama, keduanya wajib
menuntut ilmu, berbakti kepada orang tua, menegakkan shalat, membayar zakat,
bershaum, berhaji, mengemban dakwah, dan lain-lain.
Namun, adakalanya pula
Allah memberikan aturan yang berbeda manakala dipandang dari sisi tabiat
keduanya memang berbeda sebagai laki-laki dan perempuan, baik berkaitan dengan
fungsi, kedudukan, meupun posisi masing-masing dalam masyarakat. Allah telah
membebankan kewajiban mencari nafkah dan melindungi keluarga kepada laki-laki,
misalnya.
Sebaliknya, Allah telah
telah menjadikan tugas pokok perempuan sebagai ibu dan pengatur rumah tangga (Ummun wa rabbah al-bayt). Sebagai ibu, dia wajib merawat,
mengasuh, mendidik dan memelihara anak-anaknya agar kelak menjadi orang yang
mulia di hadapan Allah. Sebagai pengatur rumah tangga perempuan berperan
mengatur, membina, dan menyelesaikan urusan rumah tangganya sekaligus menjadi
mitra bagi laki-laki bukan malah menjadi pesaing.
Islam juga membuka
membuka ruang bagi perempuan untuk masuk di ranah umum, berkiprah dalam
aktivitas yang dibolehkan seperti berjual beli, menjadi pedagang bahkan qadhi seperti yang dilakukan oleh
khalifah Umar ra. pada saat mengangkat Syifa’ binti Sulaiman sebagai qadhi hisbah (salah satu jenis hakim
dalam islam). Demikian pula aktivitas yang diwajibkan syari’ah seperti menuntut
ilmu, berdakwah, dan mengoreksi penguasa. Namun demikian, islam tetap
memerintahkan perempuan untuk menggunakan pakaian syar’i (jilbab dan kerudung),
melarang bertabarruj, memerintahkan
laki-laki dan perempuan menjaga pandangan, melarang berkhalwat, serta
memerintahkan kaum perempuan yang hendak berpergian jauh untuk disertai
mahramnya. Dengan aturan-aturan ini, kehormatan keduanya akan selalu terjaga
dan terhindar dari tindak kejahatan seksual sebagaimana kerap terjadi dalam
masyarakat kapitalis saat ini.
Sesungguhnya perempuan
di dunia saat ini tengah merindukan cahaya terang ditengah lorong kegelapan.
Perempuan membutuhkan payung khilafah sebagai satu-satunya institusi yang akan
menerapkan seluruh peraturan-peraturan al-Qur’an. Umat islam, termasuk
perempuan, di bawah naungan-khilafah benar-benar bisa merasakan kehidupan yang
mulia. Mereka diselimuti perasaan aman dan nyaman serta diwarnai kewajaran dan
keadilan, sebab sistem ini menerapkan keadilan menurut perspektif syara’
sebagai dzat yang paling mengerti makhluk ciptaanNya.
Hanya sistem khilafah
yang melindungi kemuliaan perempuan. Betapa cerita di masa Khalifah Al-
Mu’tashim Billah menunjukkan jaminan perlindungan ini. Hanya karena teriakan
seorang muslimah di pasar yang karena pelecehan seorang Romawi, khalifah
mengerahkan ratusan ribu pasukannya dan memimpin sendiri pengepungan kota
tersebut, hingga akhirnya Romawi takluk ke dalam wilayah islam.
Oleh karena itu, umat
muslim yang menolak dan tidak ikut ambil bagian dalam penerapan syari’ah islam
dalam payung daulah islam, maka dapat dipastikan orang tersebut telah dibutakan
oleh hawa nafsunya sendiri, jika tidak ingin dikatakan sebagai budak dari musuh
Allah.
Wallahua’lam.
Anonim.
2010. Islam, Mengentaskan Kemiskinan Keluarga dan Bangsa. Muslimah Hizbut
Tahrir Indonesia.
Mubin,
Nurul. 2008. Semesta Keajaiban Wanita. DIVA Press, Yogyakarta.
Sa'adah,
Zidniy. 2012. Perempuan Tertindas Dibawah Rezim Sekuler. Tabloid Al-Wai’e edisi
April 2012.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar