Senja
tengah bertasbih sore itu disela-sela kaki langit yang akan terbelah. Warna keemasan
telah cukup sebagai penawar hari-hariku
yang tak pernah sepi dari ujian Allah. Seinchi demi seinchi hingga matahari
seutuhnya terbenam seolah mewasiatkan pesan penting bagiku, ia selalu berbicara
kepadaku tentang kesabaran melalui pagi, siang hingga sore. Tak ayal lagi,
detik demi detik sang senja sangat berharga buatku yang kelelahan.
Aku
adalah penggila senja yang tak pernah sehari pun melewatkan saat-saat seperti
ini. Aku selalu menemani senja dengan mengadukan ceritaku kepadaNya melalui
kata-kata yang kusampaikan pada langit. Senja bagiku adalah saat-saat dimana
aku bisa mengubur dalam-dalam masa kelamku dan membuka nafas baru untuk esok
hari, saat dimana aku merasa sangat dekat dengan Tuhanku.
Dulunya
aku adalah pemuja kebebasan. Segala hal yang kulakukan diukur berdasarkan ada
dan tidaknya manfaat. Itulah kenapa aku sering jadi incaran pak ketua RW karena
selalu pulang malam; menghabisakan senja bersama pacarku di pantai, selalu
mendapatkan skorsing di sekolah, selalu
diomelin ibu, dan lain-lain. Bagiku sekolah hanyalah kebiasaan, karena jika
tidak sekolah maka tidak sama dengan anak-anak lainnya.
Tapi
kini dunia sudah berbalik arah. Aku bukan aku yang dulu. Tiga bulan ini aku
telah mengikuti kegiatan pembinaan di sekolah. Dari kegiatan itu, sepertinya
ada nyawa baru yang membuatku berasa hidup kembali, ada sesuatu yang merubah
pola kehidupanku. Jika mantan pacarku mengatakan aku kejam, aku memang kejam.
Aku tega memutus hubunganku dengannya, aku tegas memakai jilbab dan khimar untuk
menutup auratku, aku rela meninggalkan teman-teman genk yang dulu susah sekali
masuk genk itu. Tapi mereka tidak pernah tahu ada batu besar tersimpan dalam
batinku. Ada pertentangan batin yang begitu besar antara merelekan mereka dan
berhijrah.
Tiga
bulan ini adalah saat-saat yang teramat berat, beginikah ujian hidup yang
sebenarnya tak seberapa? Aku yang dulu nol menjadi seratus delapan puluh
derajad, tentu saja membuat dunia ternganga. Ibu, bapak, teman-teman semuanya
heran dengan perubahan sikap dan pemikiranku. Tidak cukup heran, diantara
mereka juga ada yang mencaci, menganggapku aneh bahkan menghinaku. Itu adalah
hal yang paling berat tiga bulan ini.
Sebulan
setelah aku hijrah, jilbabku dibakar
oleh orangtuaku. Saat itu aku hanya bisa menangis di kamar sambil berdo’a,
berdo’a apapun yang aku bisa. Katanya “bagaimana
bisa kamu dihargai orang jika kamu tertutup seperti ini”. Saat itu adalah
hari paling berat, tapi alhamdulillah,
hal itu tidak berlagsung lama. Aku terus menunjukkan bahwa aku bisa menghargai
orang dan orang pun bisa menghargaiku dengan adanya diriku seperti ini.
Tidak
cukup sampai disitu, cacian silih berganti dari tetangga sekitar “kok kamu mendadak kayak teroris sih?Aneh
banget?”. Begitu kata-katanya ketika bertemu denganku di warung depan
masjid. Sebagai orang yang normal, tentu rasanya sakit dicaci seperti itu. Tapi
aku selalu mengadukan apa yang kudapat hari itu dengan sang senja, ia hanya
diam tapi wasiatnya sungguh luar biasa. Dengan
perlahan ia memintaku untuk tetap sabar karena sabar itu hanya sebentar.
Sebulan
telah terlewati dengan hatiku yang bernanah karena luka dan cacian. Tapi senja
selalu mengingatkanku untuk terus bersabar. Seperti sore ini, saat aku
menghabiskan waktu bersama senja di atas balkon masjid. Aku tahu ada seseorang
yang mendatangiku, tapi aku diam saja sampai langkah itu berhenti.
“Mau
apa kamu ke sini”. Kataku sambil tetap menghadap ke arah senja.
“Aku
mencarimu”. Dari suaranya bukanlah orang yang asing lagi, Nana teman genk dulu.
“Bolehkah
aku duduk?”. Lanjutnya.
Aku
mengangguk. Nana mengambil tempat duduk di sebelah kananku sambil meniruku menahan
silaunya matahari.
“Aku
tahu kamu pasti di sini Ra, makannya aku mencarimu ke sini.”
“Kenapa
kau tak mengucapkan salam? Bukankah salam adalah do’a?”
“Oh
begitu, kalau begitu Assalamu’alaikum..”.
Kaku.
“iya,
wa’alaikum salam. Mau apa kamu
menyusulku kesini”
“Begini
Ra, ada seseorang menunggumu di bawah. Aku dimintanya untuk memanggilkanmu.
Kurasa ia ingin berbicara padamu, turunlah..”
“Aku
tahu siapa orangnya Na, pasti orang itu lagi kan? Turun dan bicara padanya.
Seandainya dia bisa menciptakan awan hitam agar senja tak bersinar lagi, aku akan
turuti kemauannya. Aku akan balikan lagi.”
“Maksudnya?”
“Sudah
samapikan padanya apa yang kukatakan tadi Na. Tiga bulan ini hari-hariku sudah
terasa seperti ranjau, mohon jangan memberatkanku lagi dengan membuka bau busuk
masa laluku. Biarkan aku mempersiapkan diri untuk ujian praktik besok pagi Na.”
“Aku
tahu ujianmu begitu berat Ra, tapi apakah kamu tidak berfikir untuk hidup
seperti dulu lagi? Kita bisa kok nerima kamu lagi. Kalau seperti ini, kamu
hanya menjadi cercaan teman-teman sekelas Ra. Teman-teman genk masih menunggu kehadiranmu.
Ayolah, kenapa kamu seperti ini. Kenapa kamu bukan teman kita lagi? Sekarang kamu
rempong banget cuma buat nyiapin ujian PAI. ”
“Akan
seperti apapun aku tetap teman kalian Na. Hanya saja pemahaman telah merubahku,
dan sudah seharusnya kau dan teman-teman genk lainnya.”
Nana
melamun sebentar. “Aku sudah enjoy
denganku yang sekarang, inilah diriku..”
“Kalau
begitu ini juga diriku. Kau tidak perlu risau, karena inilah diriku”
“Kamu
bukan Faira yang kita kenal dulu.”
“Aku
memang bukan Faira yang dulu Na, dan aku tidak mencari musuh. Jika kau
menganggapku beda, itu tak menjadi masalah bagiku karena aku memang berbeda.
Aku bisa menjadi teman kalian, tapi jangan paksa aku untuk mengikuti
kebiasaan-kebiasaan kita dulu. Biarkan aku dengan diriku yang sekarang. Na, kehilanganku
dalam genk bukan berarti matahari terbit dari barat. Sekarang aku tengah
bersiap untuk menghadapi ujian praktik besok pagi, persiapkan dirimu juga Na.
Supaya genk kita menjadi genk berprestasi.”
“Sudahlah,
percuma ngomong sama kamu. Percuma aku membujukmu. Kamu akan tetap bersikukuh
dengan keputusanmu.” Nana Beranjak, pandanganku mengikutinya hingga ia
menghilang menuruni anak tangga masjid yang ada di sebelah timur.
Na, aku sudah menduga
dirimu akan datang sore ini. Tapi aku tetap pada keputusanku. Sekalipun kau menghadirkan
senja seratus haripun, aku tidak akan kembali. Tahukah Na, melihatmu
melangkahkan kaki menjauhiku adalah kehilangan terberatku. Tapi hidup bukanlah
untuk kekekalan. Seandainya saja Na, kau mau memiliki cara berfikir yang sama
denganku..
Adzan
maghrib mulai bersahutan, saatnya aku pulang..
@@@
Ini
adalah ujian praktik hari terakhir yang paling mendebarkan bagiku. Guru penguji
praktik berwudhu adalah Pak Syam. Bagi teman-teman lainnya, ujian PAI adalah
ujian paling menyenangkan, karena salah satu mata yang diujikan adalah
berwudhu. Entah kenapa mereka (termasuk juga aku dulu) sangat senang jika ada
kegiatan berwudhu di mushala sekolah. Itu semua karena kami bebas membuka
kerudung, kami bebas bermain kecipaknya air bersama anak laki-laki, dan kami bebas
untuk mojok di sudut sekolah, berduaan, berkhalwat.
Tapi
itu tak berlaku lagi buatku. Sekarang aku mulai membenahi diriku yang kotor ini.
Sebenarnya bagiku ujian berwudhu adalah masalah terbesar, karena tentu saja harus
membuka kerudung di depan guru penguji agar mendapatkan nilai sempurna. Aku sudah mempersiapkan semua untuk
mengantisipasi hal itu. Aku akan membasahai pakaian seragamku supaya tidak
perlu membuka lengan bajuku. Beres pikirku, masalahnya sekarang adalah
bagaimana jika semua teman-teman menertawakanku. Ah, itu kan hanya sebentar.
Nomor
29 dipanggil, berarti setelah ini adalah giliranku.
“Nomor
30, Faira Nila”. Panggil pak Syam.
“Saya
pak.” Dengan semua yang telah kupersiapkan aku mendatangi tempat berwudhu.
“Ayo,
sekarang tunjukkan bagaimana kamu berwudhu”.
“Baik
pak.”
Aku
meraih kran air, dan memposisikanya pada kondisi on lalu membaca niat berwudhu. Bismillah..berwudhu
sesuai apa yang aku pahami, membasuh
kedua telapak tangan, berkumur, hidung, membasuh muka, kedua tangan mengusap
kepala dan telinga yang tertutup kain kerudung, dan terakhir kaki. Tiba-tiba..
“Lhoh,
ini apa ini? Stop..stop. Maksud kamu apa? Kafir
kamu, berwudhu kok nggak dilepas kaos kakinya. Sudah..sudah kafir kamu..”
Aku
langsung berbalik menghadap pak Syam. Melihat pak Syam dengan mimik muka marah dan
aku tidak bisa membaca lagi pesan dari mukanya yang memerah itu. Saat itu sepertinya
jarak langit denganku hanya satu meter, dan siap untuk menghimpitku. Sesak rasanya.
Kepalaku rasanya berat. Ingin rasanya saat itu aku pingsan saja dan ketika aku
bangun biarlah semuanya selesai dengan sendirinya.
Tapi
ternyata tidak. Allah tidak menghendakiku untuk pingsan siang itu. Lalu aku
melangkah meninggalkan pak Syam dengan mata yang berkaca-kaca. Astaghfirullah.. astaghfirullah. Kucoba berucap
istighfar beberapa kali. Semua mata yang telah selesai maupun mengantre ujian
praktik itu, menatapku dengan tatapan nanar, bengong, dan mungkin kaget.
Samar-samar
aku sempat mendengar bisik-bisik mereka, “ya
ampun.. Faira kafir.. ternyata selama ini.
Oh..”. Ada juga yang merasa iba dan membuatku kuat “Masya Allah, Faira.. kasihan sekali..”. Aku tidak peduli dengan
itu, aku berlalu dengan kepala tertunduk, dan mata yang berat membawa linangan
air. Tujuanku hanya satu, menyembunyikan tangisku di kamar mandi dan menangis
sepuasku.
Di
sanalah aku bisa menangis sambil menahan rasa dingin dari lengan baju dan kaos
kakiku yang basah. Tidak ada seorang pun melihatku menyendiri di sini. setelah
beberapa jam memeras air mata, aku berfikir bahwa tidak cukup dewasa rasanya
jika terus-terusan menyembunyikan tangis. Seburuk apapun hari ini harus
kuhadapi.
Akhirnya,
aku putuskan untuk memasuki ruang kelas dengan teman-teman yang telah siap dengan
pandangan yang terheran-heran. Aku tak peduli. Mataku masih sempab.
“Ini
sudah selsai kan Nin, aku pamit pulang ya.” Pamitku pada Ninik.
“I..
iya Ra.” Ninik mengangguk.
Ku
raih tas ranselku lalu melangkah keluar dari ruang kelas itu. Aku tidak tahu
lagi mau kemana. Entah kenapa bapak ibu sejak kemarin sore tidak berbicara
apapun. Tidak menegurku apalagi menyapaku. Menanyakan uang sakuku pun tidak. Aku
hidup, tapi rasanya aku mati.
Aku
berharap siang segera beranjak dan senja segera datang. Aku ingin mengadukannya
pada senja lagi. Hanya itu yang bisa membuatku kuat. Lalu aku mulai menaiki
anak tangga masjid menuju balkon. Tempat biasa aku menyendiri. Hari ini memang
masih terlalu siang. Tapi aku akan menunggu hingga senja datang.
Belum
ada lima belas menit aku duduk, tiba-tiba datang Ninik. Ternyata ia tadi membuntutiku.
“Asslamu’alaikum Faira..”
“Wa’alaikum salam Nik. Kamu ke sini?”
“Iya..”
Ninik duduk di sebelah kananku. Ninik adalah teman pembinaan di sekolah. Selama
ini kami berdua memang yang paling aktif mengikuti pembinaan itu.
“Aku
salah ya Nik. Katakan padaku kalau aku salah.”
“Enggak
Ra. Aku tahu yang terjadi padamu tadi. Setelah dirimu, ujian tiba giliranku. Dan
aku melalui hal yang sama denganmu.”
“Tapi
aku tak sekuat dirimu Nik.”
“Kau
adalah yang pertama yang membuatku kuat Ra. Awalnya aku ragu jika dirimu tidak
nekat seperti itu. Aku salut atas keberanianmu.”
“Aku
bukan apa-apa Nik.”
“Kita
memang bukan apa-apa tanpa islam Ra. Ayo semangat. Akhir yang indah tidak dilalui
dengan jalan yang mulus Ra.”
“Iya
Nik, aku tahu. Aku hanya meminta kekuatan, senja nanti akan memberiku kekuatan”
“Aku
hanya sedikit berpesan Ra, masalah itu butuh diselesaikan. Aku tahu masalahmu
bukan hanya ini, masalah dengan orangtuamu juga butuh penyelesaian. Kau hanya
akan menyimpan sampah jika kau menunggu berbicara pada senja.”
“Lalu
aku harus apa?”
“Masalah
itu hanya perkara waktu kan Ra. Mungkin
saat ini yang kau butuh hanya kesendirian. Tapi jika kau terus-terusan seperti
ini, masalah itu tidak akan selesai
dengan sendirinya. Kau harus membuktikan pada orangtuamu, bahwa dengan islam
pun kita bisa menjadi lebih baik. Allah sedang menlihat kira Ra, Allah sedang
menguji seberapa kuat kita bertahan. Yang kuat bertahani tulah yang menang. Kita
sedang di uji untuk menang.”
“Aku
sedang membuktikan ucapanmu, aku hanya menunggu hasilnya.”
“Baguslah.
Kau hanya butuh bersabar Ra. Ujian kita tidak berhenti sampai di sini. Banyak lagi
ranjau yang harus kita hadapi setelah ini. Selesai ujian ini, bukan berarti
kita telah tamat. Itu artinya kita harus menghadapi ujian lain yang barangkali
lebih besar lagi.”
“Bagi
seorang muslim tidak masalah berapa lama mereka harus berjuang, tidak ada
masalah seberapa banyak yang harus mereka keluarkan, karena permasalahannya
bukan terletak pada berapa banyak, dan berapa lama mereka berjuang. Tapi
seberapa besar mereka percaya pada keyakinannya terhadap bisyarah Rasulullah
SAW.” Ninik melanjutkan.
“Iya
Nik, seandainya hidup itu kekal ya.”
“Kau
pasti kuat Ra, kita pasti kuat. Eh iya. Sudah dulu ya. Aku harus kembali ke
sekolah. Ujianku belum selesai..”
“iya
Nik, hati-hati. Sukses ya..”
“iya..iya
aku pergi dulu. Assalamu’alaikum..”
“Wa’alaikum salam..”
Perlahan
matahari beranjak ke arah barat. Akhirnya senja pun datang. Benar kata Ninik,
aku hanya butuh bersabar. Seperti sabarnya senja sore itu. Setelah ini Allah
akan menjadikanku lebih kuat. Aku akan lebih kuat.
Maghrib
datang, selesai tugasku menggiring senja hingga peraduannya. Saatnya aku harus
pulang..
Based on True Story. Ninik, HargaK eistiqomahan itu sangat mahal, kamu tahu itu kan?
Semoga bisa tetap istiqomah, Amiiin.... Ijin download Gambar Senjanya, Makasih
BalasHapus