Jumat, 29 Juni 2012

Ilalang Senja



Senja tengah bertasbih sore itu disela-sela kaki langit yang akan terbelah. Warna keemasan  telah cukup sebagai penawar hari-hariku yang tak pernah sepi dari ujian Allah. Seinchi demi seinchi hingga matahari seutuhnya terbenam seolah mewasiatkan pesan penting bagiku, ia selalu berbicara kepadaku tentang kesabaran melalui pagi, siang hingga sore. Tak ayal lagi, detik demi detik sang senja sangat berharga buatku yang kelelahan.

Aku adalah penggila senja yang tak pernah sehari pun melewatkan saat-saat seperti ini. Aku selalu menemani senja dengan mengadukan ceritaku kepadaNya melalui kata-kata yang kusampaikan pada langit. Senja bagiku adalah saat-saat dimana aku bisa mengubur dalam-dalam masa kelamku dan membuka nafas baru untuk esok hari, saat dimana aku merasa sangat dekat dengan Tuhanku. 

Dulunya aku adalah pemuja kebebasan. Segala hal yang kulakukan diukur berdasarkan ada dan tidaknya manfaat. Itulah kenapa aku sering jadi incaran pak ketua RW karena selalu pulang malam; menghabisakan senja bersama pacarku di pantai, selalu mendapatkan skorsing di sekolah, selalu diomelin ibu, dan lain-lain. Bagiku sekolah hanyalah kebiasaan, karena jika tidak sekolah maka tidak sama dengan anak-anak lainnya.

Tapi kini dunia sudah berbalik arah. Aku bukan aku yang dulu. Tiga bulan ini aku telah mengikuti kegiatan pembinaan di sekolah. Dari kegiatan itu, sepertinya ada nyawa baru yang membuatku berasa hidup kembali, ada sesuatu yang merubah pola kehidupanku. Jika mantan pacarku mengatakan aku kejam, aku memang kejam. Aku tega memutus hubunganku dengannya, aku tegas memakai jilbab dan khimar untuk menutup auratku, aku rela meninggalkan teman-teman genk yang dulu susah sekali masuk genk itu. Tapi mereka tidak pernah tahu ada batu besar tersimpan dalam batinku. Ada pertentangan batin yang begitu besar antara merelekan mereka dan berhijrah. 

Tiga bulan ini adalah saat-saat yang teramat berat, beginikah ujian hidup yang sebenarnya tak seberapa? Aku yang dulu nol menjadi seratus delapan puluh derajad, tentu saja membuat dunia ternganga. Ibu, bapak, teman-teman semuanya heran dengan perubahan sikap dan pemikiranku. Tidak cukup heran, diantara mereka juga ada yang mencaci, menganggapku aneh bahkan menghinaku. Itu adalah hal yang paling berat tiga bulan ini.

Sebulan setelah aku hijrah, jilbabku dibakar oleh orangtuaku. Saat itu aku hanya bisa menangis di kamar sambil berdo’a, berdo’a apapun yang aku bisa. Katanya “bagaimana bisa kamu dihargai orang jika kamu tertutup seperti ini”. Saat itu adalah hari paling berat, tapi alhamdulillah, hal itu tidak berlagsung lama. Aku terus menunjukkan bahwa aku bisa menghargai orang dan orang pun bisa menghargaiku dengan adanya diriku seperti ini.

Tidak cukup sampai disitu, cacian silih berganti dari tetangga sekitar “kok kamu mendadak kayak teroris sih?Aneh banget?”. Begitu kata-katanya ketika bertemu denganku di warung depan masjid. Sebagai orang yang normal, tentu rasanya sakit dicaci seperti itu. Tapi aku selalu mengadukan apa yang kudapat hari itu dengan sang senja, ia hanya diam tapi wasiatnya sungguh luar biasa. Dengan  perlahan ia memintaku untuk tetap sabar karena sabar itu hanya sebentar.

Sebulan telah terlewati dengan hatiku yang bernanah karena luka dan cacian. Tapi senja selalu mengingatkanku untuk terus bersabar. Seperti sore ini, saat aku menghabiskan waktu bersama senja di atas balkon masjid. Aku tahu ada seseorang yang mendatangiku, tapi aku diam saja sampai langkah itu berhenti.

“Mau apa kamu ke sini”. Kataku sambil tetap menghadap ke arah senja.

“Aku mencarimu”. Dari suaranya bukanlah orang yang asing lagi, Nana teman genk dulu.

“Bolehkah aku duduk?”. Lanjutnya.

Aku mengangguk. Nana mengambil tempat duduk di sebelah kananku sambil meniruku menahan silaunya matahari.

“Aku tahu kamu pasti di sini Ra, makannya aku mencarimu ke sini.”

“Kenapa kau tak mengucapkan salam? Bukankah salam adalah do’a?”

“Oh begitu, kalau begitu Assalamu’alaikum..”. Kaku.

“iya, wa’alaikum salam. Mau apa kamu menyusulku kesini”

“Begini Ra, ada seseorang menunggumu di bawah. Aku dimintanya untuk memanggilkanmu. Kurasa ia ingin berbicara padamu, turunlah..”

“Aku tahu siapa orangnya Na, pasti orang itu lagi kan? Turun dan bicara padanya. Seandainya dia bisa menciptakan awan hitam agar senja tak bersinar lagi, aku akan turuti kemauannya. Aku akan balikan lagi.”

“Maksudnya?”

“Sudah samapikan padanya apa yang kukatakan tadi Na. Tiga bulan ini hari-hariku sudah terasa seperti ranjau, mohon jangan memberatkanku lagi dengan membuka bau busuk masa laluku. Biarkan aku mempersiapkan diri untuk ujian praktik besok pagi Na.”

“Aku tahu ujianmu begitu berat Ra, tapi apakah kamu tidak berfikir untuk hidup seperti dulu lagi? Kita bisa kok nerima kamu lagi. Kalau seperti ini, kamu hanya menjadi cercaan teman-teman sekelas Ra. Teman-teman genk masih menunggu kehadiranmu. Ayolah, kenapa kamu seperti ini. Kenapa kamu bukan teman kita lagi? Sekarang kamu rempong banget cuma buat nyiapin ujian PAI. ”

“Akan seperti apapun aku tetap teman kalian Na. Hanya saja pemahaman telah merubahku, dan sudah seharusnya kau dan teman-teman genk lainnya.”

Nana melamun sebentar. “Aku sudah enjoy denganku yang sekarang, inilah diriku..”

“Kalau begitu ini juga diriku. Kau tidak perlu risau, karena inilah diriku”

“Kamu bukan Faira yang kita kenal dulu.”

“Aku memang bukan Faira yang dulu Na, dan aku tidak mencari musuh. Jika kau menganggapku beda, itu tak menjadi masalah bagiku karena aku memang berbeda. Aku bisa menjadi teman kalian, tapi jangan paksa aku untuk mengikuti kebiasaan-kebiasaan kita dulu. Biarkan aku dengan diriku yang sekarang. Na, kehilanganku dalam genk bukan berarti matahari terbit dari barat. Sekarang aku tengah bersiap untuk menghadapi ujian praktik besok pagi, persiapkan dirimu juga Na. Supaya genk kita menjadi genk berprestasi.”

“Sudahlah, percuma ngomong sama kamu. Percuma aku membujukmu. Kamu akan tetap bersikukuh dengan keputusanmu.” Nana Beranjak, pandanganku mengikutinya hingga ia menghilang menuruni anak tangga masjid yang ada di sebelah timur. 

Na, aku sudah menduga dirimu akan datang sore ini. Tapi aku tetap pada keputusanku. Sekalipun kau menghadirkan senja seratus haripun, aku tidak akan kembali. Tahukah Na, melihatmu melangkahkan kaki menjauhiku adalah kehilangan terberatku. Tapi hidup bukanlah untuk kekekalan. Seandainya saja Na, kau mau memiliki cara berfikir yang sama denganku..

Adzan maghrib mulai bersahutan, saatnya aku pulang..

@@@

Ini adalah ujian praktik hari terakhir yang paling mendebarkan bagiku. Guru penguji praktik berwudhu adalah Pak Syam. Bagi teman-teman lainnya, ujian PAI adalah ujian paling menyenangkan, karena salah satu mata yang diujikan adalah berwudhu. Entah kenapa mereka (termasuk juga aku dulu) sangat senang jika ada kegiatan berwudhu di mushala sekolah. Itu semua karena kami bebas membuka kerudung, kami bebas bermain kecipaknya air bersama anak laki-laki, dan kami bebas untuk mojok di sudut sekolah, berduaan, berkhalwat.

Tapi itu tak berlaku lagi buatku. Sekarang aku mulai membenahi diriku yang kotor ini. Sebenarnya bagiku ujian berwudhu adalah masalah terbesar, karena tentu saja harus membuka kerudung di depan guru penguji agar mendapatkan nilai  sempurna. Aku sudah mempersiapkan semua untuk mengantisipasi hal itu. Aku akan membasahai pakaian seragamku supaya tidak perlu membuka lengan bajuku. Beres pikirku, masalahnya sekarang adalah bagaimana jika semua teman-teman menertawakanku. Ah, itu kan hanya sebentar.

Nomor 29 dipanggil, berarti setelah ini adalah giliranku.

“Nomor 30, Faira Nila”. Panggil pak Syam.

“Saya pak.” Dengan semua yang telah kupersiapkan aku mendatangi tempat berwudhu.

“Ayo, sekarang tunjukkan bagaimana kamu berwudhu”.

“Baik pak.”

Aku meraih kran air, dan memposisikanya pada kondisi on lalu membaca niat berwudhu. Bismillah..berwudhu sesuai apa  yang aku pahami, membasuh kedua telapak tangan, berkumur, hidung, membasuh muka, kedua tangan mengusap kepala dan telinga yang tertutup kain kerudung, dan terakhir kaki. Tiba-tiba..

“Lhoh, ini apa ini? Stop..stop. Maksud kamu apa? Kafir kamu, berwudhu kok nggak dilepas kaos kakinya. Sudah..sudah kafir kamu..”

Aku langsung berbalik menghadap pak Syam. Melihat pak Syam dengan mimik muka marah dan aku tidak bisa membaca lagi pesan dari mukanya yang memerah itu. Saat itu sepertinya jarak langit denganku hanya satu meter, dan siap untuk menghimpitku. Sesak rasanya. Kepalaku rasanya berat. Ingin rasanya saat itu aku pingsan saja dan ketika aku bangun biarlah semuanya selesai dengan sendirinya.

Tapi ternyata tidak. Allah tidak menghendakiku untuk pingsan siang itu. Lalu aku melangkah meninggalkan pak Syam dengan mata yang berkaca-kaca. Astaghfirullah.. astaghfirullah. Kucoba berucap istighfar beberapa kali. Semua mata yang telah selesai maupun mengantre ujian praktik itu, menatapku dengan tatapan nanar, bengong, dan mungkin kaget. 

Samar-samar aku sempat mendengar bisik-bisik mereka, “ya ampun.. Faira kafir.. ternyata selama ini. Oh..”. Ada juga yang merasa iba dan membuatku kuat “Masya Allah, Faira.. kasihan sekali..”. Aku tidak peduli dengan itu, aku berlalu dengan kepala tertunduk, dan mata yang berat membawa linangan air. Tujuanku hanya satu, menyembunyikan tangisku di kamar mandi dan menangis sepuasku.

Di sanalah aku bisa menangis sambil menahan rasa dingin dari lengan baju dan kaos kakiku yang basah. Tidak ada seorang pun melihatku menyendiri di sini. setelah beberapa jam memeras air mata, aku berfikir bahwa tidak cukup dewasa rasanya jika terus-terusan menyembunyikan tangis. Seburuk apapun hari ini harus kuhadapi.

Akhirnya, aku putuskan untuk memasuki ruang kelas dengan teman-teman yang telah siap dengan pandangan yang terheran-heran. Aku tak peduli. Mataku masih sempab. 

“Ini sudah selsai kan Nin, aku pamit pulang ya.” Pamitku pada Ninik.

“I.. iya Ra.” Ninik mengangguk. 

Ku raih tas ranselku lalu melangkah keluar dari ruang kelas itu. Aku tidak tahu lagi mau kemana. Entah kenapa bapak ibu sejak kemarin sore tidak berbicara apapun. Tidak menegurku apalagi menyapaku. Menanyakan uang sakuku pun tidak. Aku hidup, tapi rasanya aku mati.

Aku berharap siang segera beranjak dan senja segera datang. Aku ingin mengadukannya pada senja lagi. Hanya itu yang bisa membuatku kuat. Lalu aku mulai menaiki anak tangga masjid menuju balkon. Tempat biasa aku menyendiri. Hari ini memang masih terlalu siang. Tapi aku akan menunggu hingga senja datang.

Belum ada lima belas menit aku duduk, tiba-tiba datang Ninik. Ternyata ia tadi membuntutiku.

Asslamu’alaikum Faira..”

Wa’alaikum salam Nik. Kamu ke sini?”

“Iya..” Ninik duduk di sebelah kananku. Ninik adalah teman pembinaan di sekolah. Selama ini kami berdua memang yang paling aktif mengikuti pembinaan itu.

“Aku salah ya Nik. Katakan padaku kalau aku salah.”

“Enggak Ra. Aku tahu yang terjadi padamu tadi. Setelah dirimu, ujian tiba giliranku. Dan aku melalui hal yang sama denganmu.”

“Tapi aku tak sekuat dirimu Nik.”

“Kau adalah yang pertama yang membuatku kuat Ra. Awalnya aku ragu jika dirimu tidak nekat seperti itu. Aku salut atas keberanianmu.”

“Aku bukan apa-apa Nik.”

“Kita memang bukan apa-apa tanpa islam Ra. Ayo semangat. Akhir yang indah tidak dilalui dengan jalan yang mulus Ra.”

“Iya Nik, aku tahu. Aku hanya meminta kekuatan, senja nanti akan memberiku kekuatan”

“Aku hanya sedikit berpesan Ra, masalah itu butuh diselesaikan. Aku tahu masalahmu bukan hanya ini, masalah dengan orangtuamu juga butuh penyelesaian. Kau hanya akan menyimpan sampah jika kau menunggu berbicara pada senja.”

“Lalu aku harus apa?”

“Masalah itu hanya  perkara waktu kan Ra. Mungkin saat ini yang kau butuh hanya kesendirian. Tapi jika kau terus-terusan seperti ini, masalah itu  tidak akan selesai dengan sendirinya. Kau harus membuktikan pada orangtuamu, bahwa dengan islam pun kita bisa menjadi lebih baik. Allah sedang menlihat kira Ra, Allah sedang menguji seberapa kuat kita bertahan. Yang kuat bertahani tulah yang menang. Kita sedang di uji untuk menang.”

“Aku sedang membuktikan ucapanmu, aku hanya menunggu hasilnya.”

“Baguslah. Kau hanya butuh bersabar Ra. Ujian kita tidak berhenti sampai di sini. Banyak lagi ranjau yang harus kita hadapi setelah ini. Selesai ujian ini, bukan berarti kita telah tamat. Itu artinya kita harus menghadapi ujian lain yang barangkali lebih besar lagi.”

“Bagi seorang muslim tidak masalah berapa lama mereka harus berjuang, tidak ada masalah seberapa banyak yang harus mereka keluarkan, karena permasalahannya bukan terletak pada berapa banyak, dan berapa lama mereka berjuang. Tapi seberapa besar mereka percaya pada keyakinannya terhadap bisyarah Rasulullah SAW.” Ninik melanjutkan.

“Iya Nik, seandainya hidup itu kekal ya.”

“Kau pasti kuat Ra, kita pasti kuat. Eh iya. Sudah dulu ya. Aku harus kembali ke sekolah. Ujianku belum selesai..”

“iya Nik, hati-hati. Sukses ya..”

“iya..iya aku pergi dulu. Assalamu’alaikum..”

Wa’alaikum salam..”

Perlahan matahari beranjak ke arah barat. Akhirnya senja pun datang. Benar kata Ninik, aku hanya butuh bersabar. Seperti sabarnya senja sore itu. Setelah ini Allah akan menjadikanku lebih kuat. Aku akan lebih kuat.

Maghrib datang, selesai tugasku menggiring senja hingga peraduannya. Saatnya aku harus pulang..

Based on True Story. Ninik, HargaK eistiqomahan itu sangat mahal, kamu tahu itu kan?

1 komentar:

  1. Semoga bisa tetap istiqomah, Amiiin.... Ijin download Gambar Senjanya, Makasih

    BalasHapus