Minggu, 12 Agustus 2012

Isnaini Fitriana, 2012



17.40, 14 Desember 2001

Senja masih beradu pandang denganku sore itu, ketika tangisanmu pertama kali menggugah kebahagiaan ayah entah untuk yang keberapa kalinya. Waktu berbuka memang waktu yang sangat indah, seindah menunggu kelahiranmu sepuluh tahun yang lalu, 14 Desember 2001. Di mata kecilku aku melihat begitu luar biasanya tangis haru ibu, meskipun saat itu ia tak dapat menolak rasa sakit.


Kau tahu kan anak manis? Tidak mudah melahirkan kita di dunia ini. Seandainya dulu di dalam perut kau bisa mendengar rintihan sakit ibu saat kau akan dilahirkan. Seandainya dulu kau mampu melihat betapa khawatirnya ayah. Dan saat itu juga aku hanya bisa memahami aku akan punya adik kecil, yaitu kau.

09.21, 12 Agustus 2012

Sekarang 10 tahun lebih mozaik waktu itu berlalu, tapi ingatanku sore itu masih tersimpan jelas. Kau dan aku satu rahim, satu darah. Tapi kita dibesarkan dengan watak dan pembiasaan yang berbeda. Aku dibesarkan dengan banyak tekanan, kau justru sebaliknya.

Tulisan ini sekedar luahan kekhawatianku kepadamu yang melebihi kekhawatiranku kepada diriku sendiri. Aku sudah cukup kuat karena tekanan. Sedangkan kelonggaran seringkali membuat kita lemah. 

Aku sudah 20 tahun belajar memahami kehidupan yang kejam ini. Aku sudah mencicipi dua macam kehidupan, karena memang hanya dua: fujuroha wa taqwaha. Lalu perjalananku sampai di sini saat menemukanmu sudah berusia 10 tahun lebih, sebentar lagi islam akan menyebutmu sebagai perempuan dewasa. Sudah cukup banyak garam yang aku makan dibandingkan denganmu.

Cantik, hidup di luar itu sangat liar. Itulah yang menyulut kekhawatiranku kepadamu. Kita besar dalam asuhan pendidikan yang tidak layak. Teman-teman yang menjerumuskan jika kita tidak pandai memilih. Gaya hidup yang menjauhkan kita dari Allah, pencipta kita. Aku sudah merasakannya.

Selama ini, aku membantu ibu untuk menjejalimu dengan islam. Supaya kau tidak terseret arus menjadi liar. Supaya kau tidak sepertiku dulu, supaya kau menjadi lebih baik dari kakakmu ini. Tapi sebesar apapun usahaku, tetap saja aku tak punya kekuatan sekuat ibu. Kau tetap memandangku sebagai seorang kakak, bahkan kadang sebagai ‘saingan’. Kau tahu hitam putihnya aku.

Esok jika aku masih mendapatimu sebagai seorang  remaja, akan lebih banyak kehidupan yang kau kenal. Kau akan terseok-seok jika mengikuti mereka. Untuk itu, ambil islam sebagai jalan hidup. Islam akan menyelamatkanmu. 

Jangan pernah menangisi bualan cinta, itu bohong. Cinta yang tidak diikat dalam aqad pernikahan hanya akan menguras air mata, waktu, dan pikiran kita. Padahal semua akan berbicara di hadapan Allah. Jadikanlah cinta kita hanya untuk mengejar keridhaan Allah, mengejar apa yang diperintahkan pencipta kita, dan menjauh dari apa yang dilarangNya. Air mata yang tertumpah akan sia-sia jika hanya untuk menangisi lelaki, tetapi kita diam tak peduli melihat saudara kita dibunuh. Tidak, kita tidak diajarkan untuk itu.

Anak manis, jangan pernah menanggalkan khimar (kerudung) dan jibab. Ini akan menjagamu dari api neraka, dan menjagamu dari dunia yang kejam ini. Dengannya akan mengantarkanmu  menjadi anak shalihah yang patuh kepada ibu dan ayah. Ingatlah, ridha Allah ada pada ridha mereka. Surga ada di bawah telapak kaki mereka.

Kelak, derasnya arus kehidupan akan membawamu pada teman-teman. Pilihlah teman yang baik. Sebab teman ibaratkan penjual minyak wangi dan pandai besi, kau bisa memilih. Jika kau memilih teman penjual minyak wangi kau akan tertular bau wanginya, jika kau memilih teman pandai besi kau akan tertular panasnya dan itulah yang tidak kuinginkan. Dengarkan aku!

Tak peduli dimanapun, kita harus bisa menjadi yang terbaik. Menonjol di antara teman-teman lainnya. Tentu saja menonjol karena kita ini beda dengan mereka, beda karena kita memilih islam sebagai prinsip hidup. Karena kita mempelajari islam untuk diamalkan. Kita beda dan kita bangga.

Surga tidak akan dilalui tanpa pengorbanan. Paling tidak, akan ada suara-suara yang menyurutkan langkahmu. Maka pada saat itu tetaplah berjalan, persetan dengan kata mereka. Allah sudah menetapkan hukum, dan tidak layak jika kita surut dalam langkah ini.

Aku hanya bisa mendo’akan dan membimbingmu. Di 24 Ramadhan 1433 H ini, saat malaikat turun untuk mengepakkan sayap-sayapnya lalu mengamini do’a-do’a kita. Jadilah kerang mutiara seperti yang setiap hari kuceritakan. Jadilah kimiawan yang dibanggakan oleh daulah. Semoga Allah sang Maha Raja dari segala hati akan membimbing dan membuka hatimu menuju jalan dakwah islam. Semoga sifat buruk yang telah menghiasi dirimu akan melebur bersama kebaikan yang kau amalkan. Semoga sifat kerasmu itu akan mengantarkan menjadi seorang qiyadah, seorang hizbiyah sebagaimana Umar bin Khattab. Semoga mimpi yang kau rangkai sejak sekarang itu, akan menjadikanmu istimewa. Dan semoga, Allah akan menghimpun kita bersama golongan para syuhada’ sehigga kita bisa bergandengan tangan menuju jannah tertingginya. Amin..

Sumber: Bisikan hati..
Sambil berharap kau akan membacanya..



Tidak ada komentar:

Posting Komentar