Sabtu, 02 April 2011

Bukan Pilihan

Mentari masih sanggup bersinar, tak seperti semangatku yang semakin menepis saat langkahku memasuki kampus baru. Dengan sisa-sisa energi, serta kekecewaan yang ku rajut sejak pengumuman penerimaan Mahasiswa Baru di Universitas paling beken di seantero negri ini, aku memulai hari. Ah, anggap saja lembaran baru yang tak pernah ku tulis sebelumnya, dan akan ku jalani seadanya.
Terbayang di benakku teman-teman SMA yang kini mendapat kursi sesuai mimpi mereka masing-masing, pasti indah rasanya jika aku mendapat apa yang aku impikan seperti mereka, pikirku.
Ku masuki auditorium tempat maba dikumpulkan dengan hati yang masih terrajut oleh rasa kecewa dan sejuta penyesalan, kenapa jurusan ini yang sanggup menerimaku? Kenapa nggak dipilihan pertama atau ke dua?.Kenapa nggak milih di swasta aja di jurusan yang benar-benar aku akan menikmatinya dan pasti akan menerima orang dengan otak seencer aku? Kenapa...?
Tampak wajah-wajah asing mencari kursi yang telah dipersiapkan panitia sesuai nomor urut masing-masing. Mereka sepertinya sangat antusias mengikuti rangkaian PPSMB atau yang kebanyakan orang sebut ini ospek. Tapi bagiku antusias mereka tak lebih dari siksaan perasaanku yang semakin getir. Semakin kalut bahwa sesungguhnya pilihan yang ku ambil ini adalah pilihan yang sama sekali tak pernah kusukai. Tapi aku terpaksa bertahan karena bapak sangat berharap aku bisa menekuni jurusan yang sama dengan bidang yang bapak pegang.
“Pilihan ke berapa mbak?” tiba-tiba tangan seseorang menepuk pundakku dari belakang. Sebuah pertanyaan yang mambuatku risih, sebel, dan membangkitkan energi kekecewaanku.
“Ketiga, kamu?” jawabku sok akrab.
“Sama” jawabnya. Bibirnya mengembangkan senyuman serta tawa kecil, tampaknya sama sekali tak ada kekecewaan yang menderanya saat ku balik bertanya.
“Oh...” jawabku agak tak peduli.
Kembali terpikirkan olehku teman-teman baru. Mungkinkah mereka sama kecewanya denganku? Ataukah mereka justru menginginkan kenyataan ini? Bukankah jurusan ini sedikit sekali peminatnya? Tak banyak pula lapangan kerja yang sanggup menerima lulusan, walaupun di universitas negeri. Nyatanya mas Qosim hanya bekerja di perkebunan buah, sangat jauh penghasilannya dibandingkan dengan Ines, tetanggaku yang saat ini bekerja di perusahaan tambang kelas internasional, PT Freeport Indonesia. Yah tak bisa dipungkiri, aku memang memiliki cita-cita seperti Ines, punya banyak uang, mobil tinggal pilih, mau ke luar negri tinggal pesan tiket. Betapa indah takdir hidup yang dia dapat.
Tapi apa yang ku dapatkan saat ini, rencana kuliahku di pertambangan hancur sudah. Yang akan membesarkanku adalah perkebunan serta tetek bengek yang tak pernah kusukai sebelumnya. Itupun kalau jadi, nah kalau enggak? Aku akan menjadi mas Qosim jilid dua, yang sangat jauh dari kehidupan mewah. Sangat jadul bukan?

Acara PPSMB terrangkai indah, seru dan menantang bagi sebagian maba yang sangat enjoy di hari pertama. Namun, bagiku tidaklah sama. Tugas-tugas yang ku dapat tak pernah selesai dengan sempurna. Terlebih saat aku beserta ke 50 maba lain digelandang Sidak masuk ruang eksekusi gara-gara ada tugas yang ‘sengaja’ lupa tak ku kerjakan.
“Mau jadi apa kalian ini? Hari pertama sudah buat keributan. Kamu yang pake kaca mata (menunjuk ke arahku dengan mata melotot dan nada membentak) ngerjain apa kamu semalam? Hah?...ditanya diem aja? Kalo ditanya jawab dong!!!”
Bentakan itu samasekali tak membuatku takut, bahkan membuat penyesalanku semakin dalam.
“Saya lupa kak” alasan klise yang telah kupersiapkan matang-matang dari rumah.
“Apa? lupa? Kamu bilang lupa? Enak bener kamu bilang lupa. Kami sudah capek-capek buat acara untuk kalian kamu bilang lupa? (diam sejenak sambil mondar mandir di depanku). Kamu tau kesalahanmu apa? (aku diam) jawab!”
“Hei, jawab!” sebagian tim lain mulai ikut bicara.
“Tau kak”
“Bagus...kamu mau hukuman apa dari kami? Hah?”
“Terserah kakak”
“Okeyh...”
“Okey yang ada di ruangan ini, silakan kalian buat paper minimal 10 lembar, cari artikel, buat TTS. Dan kamu, karena pelanggaran kamu termasuk pelanggaran berat, cari tanda tangan semua panitia, semuanya dikumpullkan besok pagi, mengerti? (aku mengangguk) mengerti semuanya?”
“Mengerti” serempak.
Apa? Bisa nggak tidur aku nanti malam? Males banget sih.
“Oke, silakan keluar dari ruangan ini!”
Augh.....siaaal. Dasar Sidak sialaaan...

Kuliah sudah dimulai begitu PPSMB selesai. Semakin membuatku ragu, apakah yang akan aku dapat benar-benar ilmu, ataukah hanya keragu-raguan. Rasanya menjadi orang paling asing diantara ratusan teman baruku yang mungkin merasa bahagia dengan kenyataannya saat ini.
Kuliah perdana adalah pengantar ilmu perkebunan. Sungguh amat sangat membosankan meskipun hanya perkenalan.
“Selamat pagi saudara.” Sapa pak Toha begitu memasuki ruangan. Suara pak Toha terdengar bersemangat..
“Pagi.” Jawab mahasiswa dengan penuh semangat pula.
“Baiklah agenda hari ini adalah perkenalan mahasiswa dan perkenalan perkebunan (lirih). Saudara, perkebunan merupakan salah satu faktor penting untuk menunjang perekonomian negeri ini. Namun, ironisnya sampai saat ini pemerintah masih menomorduakan sektor perkebunan daripada sektor pertambangan, pendidikan, kesehatan, dan lain sebagainya. Adalah tugas saudara untuk menjadikan perkebunan Indonesia sebagai suatu sektor yang sehat. Sehat berarti terus memproduksi dalam jumlah yang besar dan berkualitas untuk peningkatan perekonomian Indonesia. Sehingga kita mampu menjadikan perkebunan sebagai salah satu sektor yang mampu mengangkat perekonomian. Dengan cara inilah kita akan membangun kemandirian Indonesia tanpa harus bergantung lagi pada investor asing. Buat apa kuliah mahal-mahal di pertambangan, perminyakan misalnya, jika kita mengeruk kekayaan negri ini untuk pengabdian kita pada para investor? Sehingga kita termasuk sebagai penghianat rakyat indonesia yang kini tengah kelaparan di ladangnya sendiri yang penuh dengan berbagai macam hasil pertanian dan perkebunan? Yang perlu diingat adalah, biarpun pegawai perminyakan, pertambangan, itu mereka kaya, tapi sebenarnya mereka itu miskin...”
Aurg... semakin membuatku mengantuk dan bosan. Ruangan ber-AC dan suara pak Toha dengan ‘ceramahnya’ itu membatku semakin terlelap dengan bayanganku tentang Ines. Sedang apa dia sekarang. Pasti lagi liburan ke Disney land bersama Selvi, anaknya dan juga suaminya. Mau apa aja tinggal pilih. Ku ingat terakhir dia pulang, bajunya tak ada yang tanpa merk.
Beberapa kali sempat kami berkomunikasi via email. Gayanya menceritakan tentang kehidupannya saat ini membuatku tertarik untuk mengikuti jejaknya yang sukses dalam sekejap. Aku samasekali tak peduli dengan kuliah yang diberikan pak Toha hari ini, menurutku justru terbalik dengan kondisi Ines saat ini. Untuk mengusik kejenuhan, ku coba merrangkai mimpi dengan khayalanku, meski tak pernah begitu dan tak akan pernah begitu. Apkah aku lari dari kenyataan, aku tak peduli.

Kuliah hari ini diakhiri dengan pemberian tugas oleh pak Toha untuk mengumpulkan paper mengenai perkebunan. Mau tidak mau aku harus menyambangi warnet tempat aku menghabiskan waktu ketika merasa lunglai dengan kenyataan yang terpaksa aku jalani kini. Aku tak suka. Ingin berontak, tapi sama siapa? Ingin menuntut Allah, tapi rasanya tak patut.
“Kosong bang?” tanyaku pada penjaga warnet yang sebenarnaya sudah hafal dengan wajahku.
“6, 7, 8....” sebut si abang. Ku biarkan ia berceloteh menyebut bilik yang kosong. Aku pilih bilik kosong di pojok biar lebih leluasa, nomor 8.
Langsung aku buka google search. Loadingnya lumayan lama, maklum jam segini banyak user dan mungkin operator juga sedang sibuk. Daripada nganggur, aku buka yahoo, ada bebarapa berita yang menjadi topik hangat minggu ini. Ah, nggak begitu menarik, sign in aja, barangkali ada email balasan dari Ines.
Benar. Ada 6 email belum dibaca. Lima email konfirmasi, dan yang satunya dari Ines, dikirim malam tadi sekitar pukul 8.40.
Dear: Rahma
Rahma yang baik. Sudah mulai kuliah ya? Jarang kirim kabar. Di awal kuliah ini, kamu menikmati kan? Jelas dong. (menikmati apanya?) Ada salam dari Selvi nih, dia pengen pulang kampung katanya. Di sini nggak betah. Ines juga mulai muak nih Ma.
Kemarin habis pulang dari tempat simbok, rasanya badan sakit semua. Nggak nunggu waktu lama, Ines langsung check up ke dokter. Dokter bilang kalo Ines kena AIDS. Ines bilang ke Mas Karta. Mas Karta justru ngasih support ke Ines, dan bisa jamin kerahasiaan ini. Tapi yang nggak habis pikir, nggak tahu dari mana temen kerja Ines tahu. Ngomonglah dia sama Manajer perusahaan. Paginya Ines dan Mas Karta langsung dapat surat pencabutan kontrak. Kami berdua dikeluarkan dari perusahaan itu. Rumah yang kami tinggali ditarik. Kami tak bisa apa-apa, karena rumah itu memang statusnya milik perusahaan. Masih untung kami memiliki tabungan jaminan untuk Selvi yang nggak seberapa itu dan terpaksa kami bobol juga.
Sekarang kami ngontrak di rumah kecil nggak jauh dari tempat kerja kami semula. Melihat kondisi Ines saat ini yang sakit-sakitan dan mulai kurus, Ines jadi kasihan sama Selvi. Mas Karta pun sampai saat ini belum dapat ganti tempat kerja. Masih nganggur. Ines jadi berandai-andai Ma, kalau umur Ines hanya sampai saat ini, dan dulu waktu kuliah Ines pakai untuk senang-senang sebebas Ines. Berarti hanya 5 tahun Ines menjadi orang yang taat syari’ah. Apa iya Ma, Ines bisa masuk surga?. Ines nyesel Ma, bener-bener nyesel.
Ya udah segini aja curhatan Ines. Tolong Ma, jangan bilang sama simbok tentang kondisi Ines saat ini. Biar kamu saja yang tahu. Semoga Mas Karta bisa memulihkan kondisi saat ini. Dan semoga Ines masih diberikan kesempatan untuk ngirim kabar ke Rahma lagi yah.
Ines

Apa? AIDS? Pencabutan kontrak? Rumah ditarik? Yang benar saja?
Innalillahi... Ines. Ternyata masa ugal-ugalan yang dia jalani sewaktu kuliah mengantarnya pada virus paling mematikan itu. Aku memang tak menyukai bagian hidupnya yang itu. Aku menyukai kesuksesannya. Tapi sekarang apa iya aku bisa berandai-andai sesukses Ines, setelah dia dikeluarkan dari tempat kerjanya itu, rumahnya ditarik, dan segudang penderitaan yang ia rasakan, hei bukankah perusahaan multinasional itu telah mendzalimi Ines yang kini tengah sakit-sakitan?
Aku tak percaya dengan tulisan yang baru saja kubaca. Ku baca sekali lagi. Benar dari Ines, dikirim tadi malam.
Saat pikiranku mulai kacau. Kuputuskan untuk keluar dari bilik ini. Pulang. Pusing juga setelah mengetahui betapa Ines saat ini tengah menderita. Tugas Pak Toha masih ada waktu seminggu lagi.
“Berapa bang?”
“Seribu neng”
Kusodorkan uang seribuan bergambar Kapitan Pattimura yang agak lusuh.
“Makasih bang.”
“Ya”
Ku melangkah keluar. Jalanan di depan tampak sedikit panas ditembus fatamorgana. Tapi tak tahu mengapa tiba-tiba pikiranku berubah mendung. Bayangan tentang Ines masih menggantung di pikiranku. Apa benar ini yang dikatakan Pak Toha tadi, Ines miskin.
Selama ini, tetangga rumah menganggap keluarga Ines adalah keluarga yang tanpa cela. Tiap ibu-ibu berkumpul, yang dibicarakan adalah kebaikan-kebaikan yang dimiliki Ines dan keluarganya. Tetangga sekitar menganggap bahwa keluarga Ines jauh lebih bahagia dibandingkan dengan keluarga Mas Qosim yang sangat sederhana. Tapi ternyata, Ia mempunyai aib yang mungkin hanya dia, Mas Karta, dan aku saja yang tahu. Dan aib itulah yang mungkin akan membuat orang-orang membenci Ines jika mereka tahu. Ternyata bayanganku selama ini tentang Ines salah permanen.
Aku akui memang, saat ini pandangan orang-orang tentang kebahagiaan diukur semata dari materi. Ines jauh lebih bahagia, karena orang melihat Ines dan Mas Karta sama-sama bisa mencari uang. Tapi nyatanya sekarang? Apa benar orang-orang menganggap Ines bahagia. Dan aku?
Lalu lalang kendaraan tak mengusik pikiranku. Beberapa kali bis kota yang biasa aku naiki melewatiku. Berjalan di atas trotoar dengan debu dan polusi kendaraan membuat pikiranku yang terusik semakin terusik, tapi asyik. Aku biarkan saja. Belum ingin rasanya aku pulang.
Jika memang benar demikian kenyataannya berarti Mas Qosim jauh lebih beruntung daripada Ines. Buat apa ngejar rizki mati-matian, kalau toh sebenarnya rizki sudah ada yang ngatur. Dan rizki yang diperoleh Mas Qosim jauh lebih halal karena tidak menjual aset negara. Tidak menghianati umat ini.
Aku mulai menyadari kenyataan yang diberikan padaku. Apa benar ini yang terbaik. Dan memang sebenarnya inilah yang terbaik. Inilah kadar rizki yang harus aku peroleh. Biarlah jadi Mas Qosim jilid dua, biarlah orang-orang menganggapku remeh. Inilah ilmu Allah yang harus kucari di jalan ini. Yang pasti ini telah menjadi qodlo’ Allah. Daripada aku mengikuti jejak Ines, tapi aku malah kena penyakit kayak Ines? Na’udzubillah...
Apakah berarti selama ini aku menghujat Allah dan tidak ridho dengan qodlo’Nya? Astaghfurullahal’adzim... Ampuni aku ya Allah, semakin aku menyadari bahwa ketetapanMulah yang terbaik...

Selamat menjalani kuliah dengan penuh pengharapan padaNya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar