Sabtu, 02 April 2011

Matinya Keadilan di Indonesia; Hanya Syari'ah sistem yang Adil

Kasus korupsi semakin mengguncang negeri ini. Sejak ditemukannya uang pajak dari 149 mega perusahaan mengalir ke rekening Gayus senilai Rp 28 M. Yang paling menghebohkan ternyata Gayus tak sendirian. Ia sempat menyeret pihak kepolisian, jaksa, hakim, dan pengacara dalam aksi korupnya. Walhasil, jadilah itu drama korupsi berjamaah (Media Umat, 2011:51).

Kasus paling menggemparkan sepanjang tahun 2010, ternyata dari 244 pemilukada 148 diantaranya diduga menjadi pesakitan. Walikota Tomohon, Sulut yang dilantik pada Agustus 2010 menjadi indikasi kuat bahwa pejabat negri ini tak pernah bersih dari skandal korupsi (Media Umat, 2011:51).

Sebelumnya Indonesia juga pernah diguyur oleh kasus korupsi Bantuan Likuiditas Bank Indonesi (BLBI), yang hingga kini tak diketahui kemana ujungnya. Yang mampu diendus media, 3 mantan pejabat BI yang dijadikan tersangka yakni Hendrobudiyono, Paul Sutopo, dan Heru Soepraptomo hanya dijatuhkan hukuman masing-masing tiga, dua setengah, dan tuga tahun penjara. Sangat ringan bukan? (http//:www.temponews.com, 28 Januari 2011)

Kasus Bank Century, yang sempat tayang di media juga pernah menjadi top news. Namun berita ini seakan dimusnahkan -atas drama presiden- selepas kepergian Sri Mulyani orang yang paling bertanggungjawab atas pengucuran dana 6,7 M tersebut. Sebagaimana kasus BLBI, akhirnya kasus ini pun stagnan di tengah jalan (Media Umat, 2010:37).

Fakta-fakta di atas hanya sederet pendek kasus korupsi negeri ini. Masih segunung yang belum diketahui dan diungkap media karena keterbatasan modal.

Upaya pemerintah yang dilakukan selama ini pun terkesan omong kosong. Janji presiden SBY melalui proker 100 hari pada 2 kali episode kerja untuk menjadi garda terdepan pemberantas korupsi, ternyata hanya sebatas goresan tinta hitam diatas kertas. Yang ada sepanjang pemerintahan SBY, kasus korupsi semakin menggurita negeri ini. Anehnya lagi birokrasi dan Undang-undang yang ada justru melindungi dan melahirkan pejabat korup.

Adanya asas praduga tak bersalah sangat memberikan peluang bagi koruptor untuk tetap menghirup udara bebas. Asas ini mengatakan seseorang tak dapat dijatuhkan hukuman sebelum ada keputusan hakim. Selain itu banyak UU yang disinyalir menjadi penghambat upaya pemberantasan korupsi yang dilakukan kepala daerah.

Menilik kasus serupa, keadilan di negeri ini pantas dibilang mati. Mbah Minah harus membayar mahal atas pencurian 3 buah kakao seharga 2 ribu rupiah dengan mendekam di penjara selama 1,5 bulan dengan massa percobaan 2 bulan. Nasib yang sama juga dialami Basar Suyanto dan Kholil warga Kediri yang memetik buah semangka lantaran kehausan. Berulang kali keduanya memohon maaf, namun pihak kepolisian tak menggubris permintaan maaf ini dan tetap menjatuhkan hukuman penjara selama 2 bulan 10 hari (Al Wai’e, 2010:113).

Yang dialami oleh mbah Minah, Basar, dan Kholil serta Minah-Minah yang lain sebenarnya bukanlah kasus besar. Namun, aparat setempat terkesan bersemangat untuk mengusutnya. Sangat ironis jika dibandingkan kasus korupsi yang merugikan rakyat hingga trilyunan rupiah. Bahkan tak sebanding dengan hasil curiannya. Koruptor yang terbukti bersalah tak jarang memperoleh penjara berbintang, serta hukuman yang tak setimpal. Robert Tantular misalnya, saat ia dinyatakan bersalah dalam kasus Bank Century, hanya dijatuhi hukuman 4 tahun penjara dan denda 50 M (Al Wai’e, 2010:113).

Merupakan hal yang wajar apabila korupsi tumbuh subur tak seperti jamur di musim gugur. Mengingat landasan utama yang dijadikan pijakan pembuatan hukum adalah akal manusia yang sangat terbatas. Hukum yang terbentuk sangat dipengaruhi oleh kondisi dan situasi yang tengah berkembang saat itu. Sehingga hukum yang lahir hanya relevan pada saat itu pula. Selain itu, hukum lahir dari kompromi sejumlah pihak yang tengah berkuasa dan sangat dimonopoli oleh kepentingan mereka masing-masing untuk mendapatkan keuntungan baik dalam skala individu maupun kelompok. Walhasil, tak pernah ada keadilan di negeri ini, selama akal masih dijadikan sumber utama pembuatan hukum (Al Wai’e, 2010:113).

Akal manusia yang terbatas ini menetapkan bahwa adil berarti sama rasa sama rata. Sehingga tak salah jika hukuman 3 butir kakao tidak lebih ringan dari 28 M. Prinsip fashl uddin ‘anil hayah (sekulerisme) merupakan sebab utama adanya kebebasan untuk menentukan hukum. Prinsip ini menghasilkan hukum yang mudah berubah dari waktu ke waktu tergantung kekuatan, kekuasaan, dan modal. Muncullah trend hukum bisa dibeli dan mafia peradilan.

Islam menetapkan adanya ta’zir sebagai sanksi edukatif atas pelanggaran syar’i. Ta’zir tidak menetapkan ukuran sanksinya. Sedangkan pelanggaran yang telah ditetapkan oleh syar’i, maka pelanggarnya dijatuhi sanksi yang telah ditetapkan kadarnya oleh syar’i. Semua yang belum ditetapkan kadar sanksinya oleh syar’i, maka sanksinya diserahkan kepada penguasa untuk menetapkan jenis sanksinya. Ta’zir yang dijatuhkan bentuknya mulai dari yang paling ringan yaitu berupa nasihat/teguran, hingga yang paling tegas yaitu hukuman mati (Al-Maliki, 1990:240-241).

Rasulullah pernah ditanya tentang pencurian kurma yang masih menggantung. Kemudian Rasulullah saw menjawab, “Barangsiapa mengambil dengan mulutnya tanpa bermaksud menyembunyikannya, maka ia tidak dikenai sanksi apa-apa. Barangsiapa membawanya, maka ia harus mengembalikannya dua kali lipat (dari nilai buah yang dicurinya), dan (dipikul) sebagai balasan (sanksi). Dan barangsiapa mencurinya setelah disimpan di gudang, dan kadarnya setara dngan sebuah perisai, maka ia wajib dipotong tangannya.”

Mengenai Ta’zir, Umar ra pernah menetapkan hukum jilid bagi pemalsu surat baitul mal yang dibubuhi cap yang dipalsukan dengan menjiplak cap baitul mal.

Demikianlah pemerintahan Islam memberikan teladan. Teladan seperti khalifah Umar Bin Abdul Aziz yang mengganti lentera milik umat, yang sebelumnya ia gunakan untuk bekerja, dengan lentera miliknya ketika sang istri ingin mengungkapkan maksud pribadinya dengan khalifah.

Teladan seperti di atas yang dibutuhkan umat masa kini untuk menggempur peradaban kapitalis yang kini diambang pintu kehancuran. Sebagai sebuah jamaah, yang saat ini tinggal menunggu waktu menyongsong kembali tegaknya peradaban islam, memiliki peran yang sangat strategis dalam berinteraksi terhadap umat. Partai politik mempunyai tahapan untuk berinteraksi dengan umat. Pada tahapan ini dilakukan proses pembinaan dan perubahan pemikiran, perasaan, kebiasaan, dan sistem kehidupan umat. Dengan begitu pola kehidupan umat akan berubah ke arah islam dan akan merindukan kehidupan islam karena dorongan pemahaman (Abdurrahman, 250).

Tahapan kedua dilakukan dengan bergerak bersama umat. Menyeru umat secara langsung dengan Tatsqif murakazah (pembinaan dan pengkaderan intensif dalam halaqah-halaqah), Tatsqif Jama’iyah (pembinaan masyarakat umum), membongkar makar-makar penguasa, shiro’ul fikri, dan mengadopsi kemaslahatan umat (An-Nabhani, 2002:66).

1 komentar:

  1. Semoga Syari'ah islam segera tegak sebagai sistem khidupan.

    BalasHapus